JAKARTA -Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan keprihatinan atas jatuhnya ribuan korban anak-anak akibat kasus keracunan massal dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah sekolah. IDAI menegaskan bahwa insiden ini murni merupakan keracunan makanan, bukan alergi seperti yang sempat beredar di publik.
"Berbeda antara alergi dengan keracunan. Kalau yang makan banyak anak, dan reaksinya hanya pada satu atau dua anak, kemungkinan itu alergi makanan. Tetapi kalau korbannya terjadi serentak dan masal setelah makan makanan yang sama, maka bisa dipastikan ini adalah fenomena keracunan makanan," jelas Ketua Pengurus Pusat IDAI, Dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp.Kardio(K).
Ketua Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Terapi Intensif Anak (UKK ETIA) IDAI, dr. Yogi Prawira, Sp.A, Subs ETIA(K), memaparkan sejumlah perbedaan antara keracunan dan alergi makanan.
Penyebab:
Keracunan makanan: akibat makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri, racun, parasit, virus, atau bahan kimia.
Alergi makanan: reaksi sistem imun terhadap protein tertentu dalam makanan.
Gejala alergi makanan: gatal, bengkak pada bibir atau kelopak mata, biduran, sesak napas, bahkan penurunan kesadaran.
"Keracunan bisa menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) karena satu sumber makanan mencemari banyak orang. Sementara alergi tidak menular dan hanya menyerang individu tertentu," terang dr. Yogi.
Kapan Harus ke Dokter?
Meski sebagian besar keracunan makanan tidak berakibat fatal, beberapa kasus memerlukan rawat inap dan dapat menimbulkan komplikasi serius seperti gangguan ginjal, peradangan sendi, hingga gangguan saraf.
Orang tua dan guru diminta waspada jika anak mengalami gejala berikut:
"Penting untuk mengedukasi orang tua, guru, bahkan anak-anak, bahwa jika setelah mengonsumsi makanan atau minuman lalu muncul gejala parah, segera dibawa ke dokter," tegas dr. Yogi.*