Cevik & Jalles (2023) dalam jurnalnya, Corruption Kills: Global Evidence from Natural Disasters, mengatakan korupsi selalu menjadi musibah bagi umat manusia. Negara yang tinggi kasus korupsinya gampang sekali dilumat bencana. Bencana tak hanya soal moralitas yang longsor, tapi juga tentang kematian fungsi negara memproduksi pelayanan publik karena ketiadaan transparansi dan akuntabilitas. Korupsi juga terkait dengan imajinasi antikorupsi rakyat terhadap pemimpinnya yang makin terdegradasi akibat pembiaran akumulatif atas sikap dan kebijakan-kebijakan korup dan miskin empati para elitenya.
Dengan residu seperti itu, korupsi akhirnya membentuk kultur sistem yang memompa normalisasi korupsi di segala aspek, baik lingkungan keluarga, sosial, agama, dunia kerja, maupun pendidikan. Suasana aktivisme pemberantasan korupsi yang menjadi akar historis reformasi pun kini digugat autentisitasnya.
Tidak sedikit aktivis yang awalnya berkoar-koar memperjuangkan pemerintahan antikorupsi, setelah mereguk kue kekuasaan, mereka memperlihatkan 'jenis kelamin' sikap yang bertolak belakang dengan menjadi bagian dari elemen yang memproteksi korupsi di sekitar kekuasaan. Menjadi bumper yang membela kebijakan penguasa, bahkan tidak jarang memusuhi rakyat yang berjuang membela hak mereka. Nilai integritas, pengorbanan, dan pemihakan terhadap rakyat kecil nyatanya hanya strategi untuk memperdayai nalar kritis publik agar bisa mencicipi kursi kekuasaan yang aduhai nikmatnya.
Korupsi adalah teror sekaligus penyakit mematikan bagi kesehatan organ negara-bangsa. Ia memberangus moralitas, pikiran kritis, nasionalisme, dan rasa memiliki sebagai bangsa. Karena itu, ia harus dilawan dengan cara radikal. Hukuman maksimal tidak cukup. Pemiskinan dan perampasan aset-aset koruptor juga penting untuk mematikan ruang hidup patologi korupsi. Ini butuh komitmen besar Presiden untuk melego jangkar dan melabuhkan penegakan hukum yang tegas terhadap para pencuri uang rakyat itu. Rakyat sudah lelah melihat kapal antikorupsinya pejabat terombang-ambing di lautan wacana.
Pemerintah, DPR, beserta kaum intelektual, aktivis, tokoh masyarakat, dan masyarakat kritis harus duduk bersama menggalang pikiran terobosan-progresif untuk segera merealisasikan pembahasan RUU Perampasan Aset. Rakyat termasuk mahasiswa, juga aktivis harus mengawal upaya tersebut. Jika itu bisa dilakukan, upaya membersihkan negeri ini dari korupsi bukan lagi mimpi.(mediaindonesia.com)