PELANGGARAN hak memperoleh keadilan merupakan persoalan terbesar bangsa Indonesia. Aduan pelanggaran hak memperoleh keadilan ialah aduan tertinggi yang diadukan ke Komnas HAM setiap tahun. Hal itu tecermin yang mana Komnas HAM menerima aduan dugaan pelanggaran hak memperoleh keadilan sekitar 4.500 kasus pada lima tahun terakhir, 2020-2024.
Dalam hal menegakkan hak memperoleh keadilan, Kejaksaan Agung kembali menunjukkan kinerja yang patut diapresiasi. Hal itu menyusul penetapan tersangka Ketua Pengadilan Negeri Jaksel Muhammad Arief Nuryanta dan beberapa hakim lainnya, panitera, dan advokat atas dugaan suap senilai Rp60 miliar dalam kasus korupsi ekspor minyak kelapa sawit yang melibatkan tiga korporasi besar.
Sebelumnya, Kejagung mencokok tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa kasus Ronald Tannur serta menemukan uang tunai hampir Rp1 triliun dan emas batangan seberat 51 kilogram di rumah Zarof Ricar, mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA). Kejagung juga berhasil mengungkap megakorupsi oleh anak perusahaan Pertamina dalam kasus pertamax oplosan sehingga merugikan negara ratusan triliun.
Hak memperoleh keadilan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana setiap orang berhak memperoleh keadilan secara setara tanpa diskriminasi. Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945 menegaskan hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan hukum, dan kepastian hukum yang adil di hadapan hukum.
Setiap orang berhak memperoleh keadilan melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, pemeriksaan objektif oleh hakim yang jujur dan adil, untuk memperoleh putusan yang adil dan benar sebagaimana dijamin pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 8 Tahun 2021 tentang Hak Memperoleh Keadilan menjelaskan hak memperoleh keadilan mencakup proses dan hasil peradilan. Proses peradilan mencakup institusi peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang dapat dinilai dari sikap aparat penegak hukum yang menjaga kemandiriannya, dari segala campur tangan pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Sementara itu, hasil peradilan dapat dilihat dalam bentuk putusan yang adil dan benar serta tidak manipulatif.
MAFIA PERADILAN MERAMPAS HAK ATAS KEADILAN
Mafia peradilan merampas hak memperoleh keadilan dengan memanfaatkan lemahnya integritas hakim dan tingginya beban perkara. Buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung menyebutkan total beban perkara pada 2022 mencapai 28.284 perkara (Kepaniteraan Mahkamah Agung, 2023). Perkara yang diterima terbanyak ialah pidana (10.980 kasus), perdata (8.506), tata usaha negara (7.085), agama (1.333), dan militer (380).
Sementara itu, pada 2023, MA menerima 27.252 perkara dan Januari-September 2024 menerima 27.729 perkara. Beban puluhan ribu perkara itu hanya dikerjakan dan diperiksa oleh 47 hakim agung.
Pelbagai 'biaya peradilan' yang sangat besar dan kompleks, baik biaya ekonomi, sosial, maupun hukum, dimanfatkan oleh mafia peradilan yang menawarkan jasa dan pengaruhnya untuk mengintervensi putusan hakim. Hakim tergoda menyimpang dari nilai keluhuran, kejujuran, integritas, dan keadilan yang mestinya menjadi nilai-nilai yang dipegang setiap hakim. Selain itu, melanggar asas peradilan yang cepat, murah, dan sederhana.