BREAKING NEWS
Jumat, 06 Juni 2025

Wisuda Berbiaya dan Guru Bergaji Nestapa: Alarm Kegagalan Negara dalam Mengurus Pendidikan

Raman Krisna - Sabtu, 17 Mei 2025 22:23 WIB
902 view
Wisuda Berbiaya dan Guru Bergaji Nestapa: Alarm Kegagalan Negara dalam Mengurus Pendidikan
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: Raman Krisna

MENJELANG akhir tahun ajaran, hampir di setiap sudut negeri, sekolah-sekolah dari jenjang TK hingga SMA sibuk mempersiapkan acara wisuda atau pelepasan siswa.

Seremoni ini, meski tak diwajibkan oleh Permendikbud, seolah menjadi rutinitas yang tak bisa dihindari.

Ironisnya, di balik pakaian toga, panggung megah, dan foto kenangan, terselip fakta yang getir: pungutan biaya wisuda yang kerap memberatkan orang tua murid.

Muncul anggapan bahwa acara ini menjadi ajang "menjual momen", celah mencari keuntungan bagi pihak sekolah.

Namun, mari kita lihat lebih jujur dan lebih dalam: mungkinkah ini juga merupakan jeritan diam para guru yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan?

Kepala TK Karima, Ibu Haja Topla, S.Pd., ketika diwawancarai wartawan bitvonline.com pada Kamis, 15 Mei 2025, menyampaikan kenyataan yang mencengangkan, guru di sekolahnya hanya menerima gaji Rp200.000 per bulan.

Ya, dua ratus ribu rupiah. Jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli beras sebulan. Inikah wajah pendidikan kita? Inikah wujud penghargaan bangsa terhadap profesi pendidik?

Fakta ini bukan kasus tunggal. Ribuan guru honorer di Indonesia menghadapi nasib serupa: bekerja keras mendidik anak bangsa, namun hidup nyaris tanpa penghasilan.

Mereka bertahan bukan karena gaji, tapi karena panggilan jiwa. Tapi sampai kapan idealisme harus terus ditukar dengan kemiskinan?

Sudah saatnya pemerintah berhenti berpura-pura tak melihat. Ini bukan sekadar masalah teknis birokrasi, ini masalah moral.

Ketika negara tak mampu menyejahterakan guru, berarti negara telah gagal melindungi fondasi utama pembentukan karakter dan kecerdasan bangsa.

Pendidikan adalah urusan negara, bukan sekadar slogan kampanye.

Tak cukup hanya janji dan seremoni Hari Guru. Guru-guru honorer membutuhkan kepastian: pengangkatan status, gaji layak, tunjangan yang manusiawi, serta jaminan hidup.

Sebab bagaimana mungkin kita menuntut mereka mencetak generasi unggul, jika mereka sendiri tak mampu menyekolahkan anaknya atau membeli buku pelajaran?

Indonesia bukan negeri miskin. Kekayaan laut, tambang, hutan dan pertanian melimpah. Tapi jika kekayaan itu tak mampu menjangkau kesejahteraan guru, maka itu bukan persoalan sumber daya, itu adalah soal keberpihakan.

Pemerintah punya kuasa untuk mengubah sistem, jika benar-benar mau.

Kita sering berbangga menyebut guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa." Tapi pahlawan tak seharusnya terus-menerus dikorbankan. Pahlawan pun berhak hidup layak.

Jika pendidikan adalah tulang punggung bangsa, maka para gurulah ruas-ruas yang menyangga kekuatannya.

Dan jika kita terus membiarkan guru dalam kelaparan dan kemiskinan, maka jangan heran jika bangsa ini tumbang, bukan oleh senjata, tapi oleh kebodohan yang kita pelihara sendiri.

"Bangsa yang besar bukan hanya yang mampu membangun gedung pencakar langit, melainkan yang mampu mengangkat martabat gurunya."*

*) Penulis adalah Jurnalis BITVOnline

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru