BREAKING NEWS
Rabu, 30 Juli 2025

Rekening Nganggur Diblokir, Tanah Nganggur Diambil, tapi Rakyat Nganggur Dibiarkan Negara

Redaksi - Selasa, 29 Juli 2025 10:42 WIB
286 view
Rekening Nganggur Diblokir, Tanah Nganggur Diambil, tapi Rakyat Nganggur Dibiarkan Negara
Nursanjaya Abdullah, Dosen Fisip Unimal Lhokseumawe, Wakil Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Langsa, Aktivis Da'wah, dan Pengamat Sosial Keagamaan. (foto: T.Jamaluddin/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: Nursanjaya Abdullah

DALAM beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan fenomena yang mengusik nurani: negara begitu sigap menertibkan segala yang dianggap "nganggur". Rekening yang lama tak aktif dibekukan. Tanah yang tidak dikelola diambil alih atas nama produktivitas dan investasi. Tapi bagaimana dengan rakyat yang bertahun-tahun hidup tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan tetap? Bukankah itu yang paling memprihatinkan?

Di tengah kegaduhan ekonomi dan janji-janji pembangunan, pengangguran kerap hanya dianggap sebagai angka statistik. Padahal, di balik angka itu ada manusia, ayah yang tak bisa memberi nafkah, ibu yang menahan lapar demi anak-anak, pemuda yang kehilangan harapan. Dalam Islam, membiarkan kemiskinan dan pengangguran tanpa solusi bukan sekadar abai, tapi bentuk kezaliman struktural.

Baca Juga:

Nganggur Bukan Dosa, Tapi Akibat Sistem

Baca Juga:

Sebagian besar rakyat tidak memilih untuk menganggur. Mereka adalah korban dari sistem ekonomi yang lebih berpihak pada modal besar ketimbang rakyat kecil. Islam memandang pekerjaan sebagai hak dasar manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud 'alaihissalam makan dari hasil kerja tangannya sendiri." (HR. al-Bukhari)

Artinya, Islam memuliakan kerja, bukan semata-mata karena hasilnya, tapi karena kerja adalah bentuk kehormatan dan kemandirian. Maka ketika rakyat tidak bisa bekerja karena sistem yang timpang, ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah keadilan sosial.

Negara dan Kewajiban Keadilan

Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan:

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan." (QS. An-Nahl: 90)

Keadilan bukan hanya dalam pengadilan, tetapi dalam pembagian akses, peluang, dan perhatian. Negara yang adil adalah yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin agar setiap warga punya kesempatan untuk hidup layak. Termasuk mereka yang nganggur.

Sungguh ironis, ketika rekening rakyat dibekukan demi alasan efisiensi, tapi pikiran dan jiwa rakyat yang lama 'membeku' karena tidak bekerja—tidak kunjung dihangatkan dengan kebijakan yang berpihak. Ketika tanah tidur dipermasalahkan, tapi potensi manusia yang "ditidurkan" oleh kebijakan yang abai dibiarkan begitu saja.

Islam dan Solusi Ekonomi yang Manusiawi

Islam tidak hanya mengkritik ketimpangan, tapi juga membawa solusi. Sistem zakat, wakaf produktif, baitul maal, dan kewajiban para pemimpin untuk menjamin kebutuhan dasar umat adalah bentuk nyata dari ekonomi yang berkeadilan.

Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bahkan pernah berkata:

"Jika ada seekor keledai mati karena kelaparan di jalanan Irak, aku khawatir Allah akan menuntut pertanggungjawaban dariku karena tidak memperhatikannya."

Jika seekor hewan saja menjadi perhatian pemimpin dalam Islam, apalagi manusia? Maka sungguh mengherankan jika dalam negara modern hari ini, rakyat menganggur dibiarkan bertahun-tahun, tanpa program pemberdayaan yang sungguh-sungguh.

Penutup: Arahkan Ulang Prioritas

Negara bisa membekukan rekening. Bisa mengambil alih tanah. Tapi tidak boleh membekukan hati dan nurani terhadap penderitaan rakyat yang nganggur. Mereka bukan beban negara—mereka adalah amanah yang harus dihidupkan.

Sudah saatnya kebijakan ekonomi mengutamakan manusia. Karena dalam Islam, manusia adalah pusat pembangunan, bukan alat pembangunan. Dan keadilan sosial bukan jargon kampanye, tapi perintah langit.

Wallahu a'lam bish-shawwab.*

*) Penulis adalah Dosen Fisip Unimal Lhokseumawe, Wakil Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Langsa, Aktivis Da'wah, dan Pengamat Sosial Keagamaan.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru
Gurita Serakahnomics

Gurita Serakahnomics

OlehAde AlawiFENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah

Opini