BREAKING NEWS
Selasa, 14 Oktober 2025

Rondahaim Saragih Garingging: Sang Penjaga Kedaulatan Adat yang Terhapus dari Panggung Nasional

BITV Admin - Minggu, 10 Agustus 2025 20:23 WIB
Rondahaim Saragih Garingging: Sang Penjaga Kedaulatan Adat yang Terhapus dari Panggung Nasional
Shohibul Anhsor Siregar (foto: ist)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh Shohibul Anshor Siregar

DALAM galeri pahlawan nasional yang didominasi tokoh Jawa dan Sumatra pesisir, Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1829–1891) tersisihkan sebagai sekadar "pemberontak lokal". Padahal, Raja Raya XIV dari konfederasi Simalungun ini adalah, arsitek perlawanan sistematis yang memadukan kecerdasan politik, spiritualitas kosmik, dan visi ekologis jauh melampaui zamannya.

Pemerintahannya berpusat di Kerajaan Raya, salah satu pilar empat kerajaan Simalungun (Panei, Dolok, Purba, Silimakuta), yang menguasai kawasan strategis lereng Dolok Tolong.

Naskah Turiturian ni Raja Raya (1480) menggambarkannya sebagai raja na marhohom sian tondi—pemimpin bijak bersumber pada kebijaksanaan spiritual. Tradisi lisan yang didokumentasikan LIPI (2022), mencatat kemahirannya menafsir poda ni datu (nasihat adat) dan merancang strategi harungguan (musyawarah adat) melibatkan parbaringin (tetua), datu (penjaga kosmologi), dan jabolon (petani).

Kejeniusan diplomasinya terabadikan dalam surat emas beraksara Batak Kuno tahun 1882 kepada Belanda, membantah klaim kolonial tentang "keterbelakangan": "Patik Raja Raya, tiada terikat perjanjian Siak. Sahala ni partuanan ndang na marhata-hata ni uruk! (Kekuatan partuanan tak perlu persetujuan budak!) (Saragih, 2015:17).

Surat ini, beserta fragmennya yang ditemukan di Gua Siatas oleh arkeolog UI (2021), membuktikan literasinya yang tinggi—fakta bertolak belakang dengan laporan misionaris Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang menyebut Simalungun "buta huruf".

Kerajaannya menjalankan sistem golat, tata kelola lahan berjenjang yang mendistribusikan hasil panen untuk ritual (horja ni ginjang), masyarakat (horja ni tonga), dan lumbung darurat (horja ni toru). Prasasti Batu Gantung (1395) menegaskan prinsip ini: Unang lea golat ni partuanan, molo so marhaporluan sahala(Jangan jual hak partuanan tanpa persetujuan kekuatan).

Di tangan Rondahaim, golat menjadi senjata melawan ekspansi perkebunan tembakau Belanda. Ketika Traktat Siak 1858 dipalsukan Belanda dengan menambahkan klausa "taklukan", ia menolak berdasar argumen hukum: naskah Arab-Melayu asli tidak mencantumkan kata itu, sebagaimana diakui Residen Rijn van Alkemade dalam Mailrapport 1860/123.

Pengabaian dalam Historiografi Nasional

Narasi Orde Baru secara sistematis meminggirkan Rondahaim. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (1975) menyebutnya "pemberontak ambisius" (hlm. 89), mengulang stigma kolonial De Locomotief (1883) yang menjulukinya "Napoleon der Bataks".

Padahal arsip rahasia Belanda (Mailrapport 1882/456) mengakui keefektifan strateginya: De vorsten vormen bondgenootschappen via huwelijken, wat onze traktaten ondermijnt(Para raja membangun aliansi lewat pernikahan, yang meruntuhkan traktat kami).

Tiga faktor mendasar mengubur ketokohannya:

Pertama, sentralisme Jawa dalam wacana kebangsaan pascakolonial. Pemimpin seperti Rondahaim—yang memperjuangkan kedaulatan adat berbasis kosmologi lokal, bukan nasionalisme modern—dianggap tidak sejalan dengan narasi integrasi negara kesatuan.

Kedua, warisan misionaris RMG yang memutus transmisi sejarah lisan melalui kristenisasi massif (1860–1900). Generasi terdidik sekolah misionaris hanya mengenalnya sebagai "pemberontak yang dikalahkan".

Ketiga, penghilangan bukti fisik: pusaka Kerajaan Raya seperti Pustaha Simalungun (1387) dan mahkota emas dirampas Belanda ke Tropenmuseum Amsterdam, menghapus jejak material legitimasinya.

Rehabilitasi melalui Dekolonisasi

Kongres Adat Simalungun (2022) menganugerahinya gelar Pangulu ni Partuanan (Pemimpin Kedaulatan), mengoreksi distorsi sejarah. Prasasti di Gua Siatas—tempat ia mengajar aksara Batak selama pengasingan—kini menjadi situs edukasi. Arkeolog UI (2021) menemukan residu tinta emas dari suratnya di gua tersebut, membantah mitos "primitivisme".

Dalam konteks keindonesiaan, ketokohannya sejajar dengan Sultan Hasanuddin atau Pattimura. Anthony Reid (2012) dalam The Blood of the People menegaskan: Rondahaim's resistance was a sophisticated defense of ecological sovereignty(Perlawanan Rondahaim adalah pembelaan canggih atas kedaulatan ekologis) (hlm. 207). Pengabaian terhadapnya mencerminkan kegagalan historiografi nasional mengakui keragaman model perlawanan nusantara.

Rondahaim wafat dalam pengasingan tahun 1891, tetapi sahala-nya—kekuatan spiritual kosmologi ginjang-tonga-toru—hidup melalui ritual mangalap sahala yang masih dipraktikkan di Dolok Tolong. Sekolah Adat Simalungun menjadikan surat emasnya sebagai kurikulum inti, mengajarkan bahwa perlawanan sejati bermula dari pengetahuan, aksara, dan kesadaran ekologis.

Ndang metmet sahala, molo metmet do halak

(Tak padam kekuatan, selama hidup rakyat)

—Prasasti Lobang Taneh Dolok Tolong (1887)

Mengembalikan Rondahaim ke panggung sejarah bukan sekadar koreksi masa lalu, melainkan pengakuan bahwa kedaulatan Indonesia dibangun dari beragam episentrum perlawanan—termasuk dari raja penjaga keseimbangan langit, manusia, dan bumi di Dolok Tolong.*

Penulis adalah dosen FISIP UMSU

Editor
: Redaksi
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru