BREAKING NEWS
Selasa, 14 Oktober 2025

Gerakan Rakyat atau Rekayasa Kekuasaan? Menguak Proyek Intelijen di Balik Demonstrasi Agustus 2025

Redaksi - Senin, 13 Oktober 2025 17:07 WIB
Gerakan Rakyat atau Rekayasa Kekuasaan? Menguak Proyek  Intelijen di Balik Demonstrasi Agustus 2025
Sekelompok orang bentrok dengan polisi di dekat Markas Brimob, Jakarta (29/08). (foto: Wulandari Wulandari via Shutterstock)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Setelah demonstrasi mereda, dua narasi bersaing di ruang publik, yaitu narasi negara menuding provokasi eksternal, sementara kelompok sipil menuding aparat sebagai aktor kekerasan. Polarisasi ini memperlihatkan praktik perception management, yaitu manipulasi opini publik untuk mengalihkan energi warga dari substansi kebijakan ke konflik wacana. Dalam konteks media sosial, fenomena ini diperkuat oleh algoritma echo chamber yang memperkuat bias kelompok, seperti yang dibahas Putri, S. D. G., Purnomo, E. P., & Khairunissa, T. (2024).

Gerakan Otentik yang Disusupi Rekayasa Kekuasaan

Dari semua indikator, jelas bahwa demonstrasi Agustus 2025 memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia merupakan gerakan sosial otentik, berakar pada kekecewaan rakyat. Namun eskalasinya menunjukkan campur tangan terstruktur, baik oleh jaringan politik domestik maupun unsurintelijen yang menjalankan agenda pengelolaan krisis. Sehingga gelombang demonstrasi ini bukan sekadar letupan sosial, tetapi eksperimen kekuasaan terhadap perilaku massa.

Demokrasi dalam Bayang-bayang Manipulasi

Kasus ini memperlihatkan evolusi intelijen modern dari lembaga pengumpul informasi menjadi aktor aktif dalam pembentukan opini publik. Fungsi intelijen kini meluas hingga pengelolaan emosi sosial, praktik yang bisa menekan kebebasan sipil bila tidak diimbangi mekanisme akuntabilitas. Kita hidup dalam ekosistem politik di mana batas antara gerakan rakyat dan rekayasa kekuasaan semakin kabur. Dalam ruang digital yang penuh distorsi, rakyat bisa menjadi pion dalam strategi pengendalian persepsi.

Refleksi paling mendesak bukan sekadar "siapa di balik demonstrasi?", tetapi sejauh mana demokrasi mampu bertahan dari manipulasi yang dilakukan atas namanya sendiri.*


*)Penulis adalah adalah peneliti dan penulis opini aktif yang fokus pada fisika komputasi, astronomi, energi, kebijakan publik, dan isu sosial-politik di Indonesia. Ia juga pendiri Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia serta aktif dalam organisasi mahasiswa dan advokasi demokrasi.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Komisi XI DPR RI Tegaskan IMB Jadi Syarat Utama Sebelum Bangun Kembali Ponpes Pesantren Al Khoziny Yang Roboh di Sidoarjo
Dukung Asta Cita Presiden, Humas Polda Aceh Jadi Pilar Komunikasi Pangan Nasional
Amelia Anggraini Tekankan Peran Strategis Mahasiswa di Era Keamanan Digital
Prabowo Gaet Tokoh Muda Isi Kabinet, Arief Rosyid: Ini Bukti Komitmen Regenerasi
Dana Reses DPR Naik Jadi Rp702 Juta? Dasco Buka Suara
Harga Emas Antam di Pegadaian Turun, 1 Gram Dibanderol Rp2,409 Juta
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru