BREAKING NEWS
Jumat, 05 Desember 2025

Majelis Adat Aceh dan Masa Depan Otonomi Kultural: Meneguhkan Fondasi Perdamaian Melalui Kearifan Lokal

BITV Admin - Jumat, 07 November 2025 09:00 WIB
Majelis Adat Aceh dan Masa Depan Otonomi Kultural: Meneguhkan Fondasi Perdamaian Melalui Kearifan Lokal
DR. Iskandar Muda Hasibuan, Pemerhati Sosial. (foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: DR. Iskandar Muda Hasibuan

MAJELIS Adat Aceh (MAA) merupakan institusi adat yang diakui secara hukum melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 dan diperkuat secara moral dalam Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) tahun 2005.

Baca Juga:
Namun, peran strategisnya dalam mewujudkan tata kelola lokal yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan perdamaian berkelanjutan belum sepenuhnya dioptimalkan.

Artikel ini berargumen bahwa revitalisasi MAA merupakan prasyarat bagi keberlanjutan otonomi Aceh, tidak hanya sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai sistem moral dan kultural.

Melalui pendekatan analisis institusional dan kultural, tulisan ini menyoroti pergeseran fungsi MAA dari lembaga simbolik menuju lembaga substantif dalam tata kelola daerah, sekaligus menyoroti tantangan kelembagaan, krisis legitimasi, dan peluang rekonstruksi sosial pascakonflik.

Dua dekade setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2005, Aceh telah menjadi laboratorium penting bagi rekonsiliasi pascakonflik dan desentralisasi politik di Asia Tenggara.

Melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, Aceh diberikan hak otonomi luas untuk mengatur pemerintahan, hukum, dan kebudayaannya sendiri.

Di dalam kerangka tersebut, Majelis Adat Aceh (MAA) menjadi institusi yang secara formal diakui untuk memelihara, mengembangkan, dan menegakkan nilai-nilai adat dalam kehidupan sosial (UUPA, Pasal 98–100).

Namun, setelah hampir dua dekade berjalan, peran MAA kerap dipersepsikan sekadar simbol tradisi, belum menjadi institusi yang efektif dalam penguatan tata kelola dan rekonsiliasi sosial.

Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan utama: bagaimana MAA dapat direvitalisasi untuk memperkuat otonomi kultural Aceh dan menjamin keberlanjutan perdamaian?

Tulisan ini menempatkan MAA bukan hanya sebagai lembaga adat, tetapi sebagai konstitusi sosial yang hidup, yaitu mekanisme moral dan institusional yang mampu menyeimbangkan rasionalitas hukum modern dengan kearifan tradisional masyarakat Aceh.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
DBFW 2025 Hari ke-6: 13 Organisasi Perempuan Tampilkan Kreasi Wastra Bali di Panggung Ksirarnawa
Gubernur Koster Dukung Revisi UU Pemerintahan Daerah, Minta Perhatikan Karakteristik Tiap Provinsi
Polda Aceh dan Komnas HAM Perkuat Sinergi Penegakan Hukum Berkeadilan
Medan Indian Film Week 2025: Nikmati Film India Gratis di Grand City Hall!
Vadel Badjideh Dijatuhi Vonis Lebih Berat: Dari 9 Tahun Menjadi 12 Tahun Penjara, Apa Alasannya?
Ribuan Penonton Terpukau! Budaya Batak Toba Jadi Sorotan di PSBD Batu Bara ke-VII
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru