BREAKING NEWS
Jumat, 19 Desember 2025

Menjemput Kesadaran di Tengah Bencana

BITV Admin - Rabu, 17 Desember 2025 07:34 WIB
Menjemput Kesadaran di Tengah Bencana
Keaadan lokasi yang terdampak bencana banjir dan tanah longsor di Kab Agam, Sumatera Barat. (foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Aji Cahyono.

AKHIR 2025 menjadi salah satu periode paling kelam dalam sejarah kebencanaan Indonesia. Banjir bandang dan tanah longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat secara hampir simultan sejak penghujung November dan terus berlanjut hingga Desember.

Hampir mendekati angka jutaan orang mengungsi, ratusan rumah hilang terbawa arus lumpur, jalan nasional terputus, dan sektor ekonomi daerah lumpuh dalam hitungan jam.

Baca Juga:

Namun, di tengah hantaman air dan tanah yang mengubur pemukiman, muncul satu ironi besar menjadi tanya, bahwa hingga bencana besar ini, pemerintah Indonesia belum juga menetapkan peristiwa tersebut sebagai 'bencana nasional'.

Fenomena ini tampak janggal bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang menyaksikan langsung rusaknya tatanan hidup di daerah terdampak.

Namun bila dipandang dari perspektif geopolitik kebencanaan Ilan Kelman, tragedi ini justru membuka ruang analisis baru bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam, melainkan hasil akumulasi keputusan politik, ekonomi, dan struktur kekuasaan yang saling bertautan.

Bahwa banjir dan longsor ini, meski dipicu hujan ekstrem, sesungguhnya adalah "bencana buatan manusia" yang lama disiapkan oleh tangan-tangan oligarki yang menguasai hutan, tambang, dan kebijakan pengelolaan ruang.

Naturalisasi Bencana: Cara Negara Menutupi Akar Struktural
Ilan Kelman menolak anggapan bahwa bencana adalah peristiwa yang datang secara tiba-tiba dan tak terhindarkan. Bagi Kelman, bencana adalah "kegagalan politik"—hasil dari kerentanan yang diproduksi melalui kebijakan, ketimpangan, dan eksploitasi ruang hidup manusia.

Dalam kerangka ini, banjir bandang dan longsor Sumatra 2025 tidak dapat dipandang hanya sebagai akibat 'cuaca ekstrem'.

Narasi cuaca ekstrem adalah narasi yang aman bagi pemerintah dan elit, namun gagal menjelaskan akar kerentanan bahwa deforestasi masif, pembukaan tambang dari hulu sampai hilir, dan lemahnya tata ruang akibat intervensi elit ekonomi-politik.

Sumatera, terutama bagian utara dan barat, adalah kawasan dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi di Indonesia setelah Kalimantan dan Papua. Pembukaan hutan untuk sawit, kayu, dan tambang ekstraktif baik legal maupun ilegal telah merusak struktur penyangga air dan tanah.

Bukit-bukit yang dulu menjadi spons alami kini berubah menjadi lereng kosong yang rapuh. Sungai-sungai kehilangan bantaran sehat; sedimentasi meningkat; debit air menjadi ganas setiap kali hujan turun.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Prakiraan Cuaca Sumut Hari Ini, Rabu 17 Desember 2025: Sebagian Besar Wilayah Hujan Ringan
Bupati Simalungun: Paritrana Award Jadi Pemicu Tingkatkan Perlindungan Pekerja
Brimob-Polda Sumut Bersinergi dengan Polres Pulihkan Aktivitas Warga Pascabencana
Godaan di Ujung Kekuasaan
IMO Soroti Lemahnya Koordinasi Informasi Bencana di Sumatera
Pemulihan Pascabencana Sumatera Dinilai Harus Libatkan Jasa Konstruksi Lokal
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru