JAKARTA -Kebijakan subsidi LPG 3 kg atau gas melon di Indonesia terus menjadi sorotan publik. Meski bertujuan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah, distribusi subsidi ini sering kali memicu kontroversi dan masalah baru. Salah satu kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang mulai berlaku pada 1 Februari 2025, membatasi penjualan LPG bersubsidi hanya kepada agen resmi Pertamina. Kebijakan ini justru menambah permasalahan yang ada, bukan menyelesaikannya.
Antrean panjang di agen LPG dan keluhan masyarakat tentang sulitnya memperoleh gas untuk keperluan rumah tangga maupun usaha kecil mencerminkan kurangnya persiapan dalam pelaksanaan kebijakan ini. LPG 3 kg merupakan kebutuhan dasar bagi jutaan rumah tangga di Indonesia, sehingga gangguan pasokan dapat menimbulkan dampak yang signifikan, baik secara sosial maupun ekonomi. Bahkan, tidak jarang pedagang kecil terpaksa menghentikan usahanya karena ketidakpastian pasokan gas.
Dalam respons cepatnya, Presiden Prabowo Subianto mencabut kebijakan tersebut hanya empat hari setelah diterapkannya. Kejadian ini menegaskan pentingnya reformasi subsidi yang lebih matang, guna memastikan distribusi yang tepat sasaran dan mencegah gejolak sosial.
Sebelum kebijakan tersebut, pemerintah sempat mengkaji berbagai alternatif mekanisme distribusi subsidi LPG 3 kg, seperti penggunaan Kartu Jaminan Sosial (Kartu Sejahtera) atau Kartu Kendali berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, rencana tersebut belum berhasil diimplementasikan secara menyeluruh.