BANTEN — Rencana kerja sama pengelolaan sampah antara Pemerintah Kabupaten Pandeglang dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menuai reaksi keras dari masyarakat Desa Bangkonol, Kecamatan Koroncong.
Penolakan ini disampaikan langsung melalui aksi damai yang digelar di Sekretariat DPRD Pandeglang, Senin (4/8/2025).
Dalam aksi tersebut, warga menyuarakan keberatannya terhadap rencana pengiriman 300 hingga 500 ton sampah per hari ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bangkonol.
Mereka menilai kebijakan ini dapat membawa dampak negatif bagi lingkungan serta kesehatan masyarakat sekitar.
"Kami tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini. Tidak ada sosialisasi atau undangan resmi. Kami mengetahui kabar ini justru dari media sosial dan obrolan warga. Kami bukan tempat buangan," ujar salah satu warga saat menyampaikan orasi.
Kritik juga datang dari kalangan pemerhati lingkungan.
Ketua Umum Go Green Go Clean Indonesia, Dr. Ir. Justiani, M.Sc., menilai kebijakan ini cenderung terburu-buru dan kurang memperhatikan kesiapan infrastruktur serta dampak ekologis.
"TPA Bangkonol belum memiliki sistem pengolahan lindi (leachate treatment plant) yang memadai. Tanpa pengelolaan yang tepat, air lindi dapat mencemari sungai dan air tanah," ungkap Justiani kepada media, Rabu (6/8/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa praktik sanitary landfill yang sesuai standar harus menjadi prioritas.
Tanpa itu, potensi pencemaran udara, air, dan tanah akan semakin besar, serta berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat sekitar.
Sejumlah warga melaporkan meningkatnya jumlah lalat di permukiman, bau menyengat yang kerap muncul, serta perubahan pada aliran sungai di sekitar TPA.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi penyebaran penyakit.
Ironisnya, di tengah meningkatnya protes, Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi, menyatakan bahwa masyarakat Bangkonol mendukung program tersebut.
Pernyataan tersebut langsung dibantah oleh warga dan dianggap tidak mencerminkan aspirasi yang sebenarnya.
"Kami merasa tidak pernah menyatakan persetujuan. Jangan jadikan nama kami sebagai legitimasi politik," ujar seorang koordinator aksi.
Justiani juga menyoroti perlunya transisi menuju sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi, seperti Waste to Energy (WTE), yang saat ini telah diadopsi oleh sejumlah negara maju.
Menurutnya, konsep WTE memungkinkan sampah diolah menjadi energi, serta mendorong masyarakat untuk lebih aktif memilah dan mengelola sampah dari sumbernya.
"Sampah bisa menjadi sumber daya, bukan sekadar limbah. Tapi butuh kemauan politik, regulasi yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat," tambahnya.
Melihat meningkatnya resistensi publik, para pemerhati lingkungan dan masyarakat sipil mendorong Pemkab Pandeglang untuk mengevaluasi kembali kebijakan kerja sama tersebut.
Mereka meminta agar setiap keputusan terkait pengelolaan sampah melibatkan partisipasi publik secara utuh, transparan, dan berbasis kajian ilmiah.
"Kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar angka-angka administratif, tetapi menyangkut keberlanjutan dan keselamatan generasi mendatang," tutup Justiani.*