BREAKING NEWS
Senin, 28 Juli 2025

Hashim Djojohadikusumo Soroti Ketidakadilan Paris Agreement Bagi Indonesia Pasca Penarikan AS

BITVonline.com - Jumat, 31 Januari 2025 10:54 WIB
131 view
Hashim Djojohadikusumo Soroti Ketidakadilan Paris Agreement Bagi Indonesia Pasca Penarikan AS
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA  -Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, mengkritik ketidakadilan yang dirasakan Indonesia terkait dengan Perjanjian Iklim Paris (Paris Agreement), terutama setelah Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut saat Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS.

Dalam acara “ESG Sustainable Forum 2025” yang diselenggarakan secara daring pada Jumat (31/1/2025), Hashim menegaskan bahwa Indonesia tidak seharusnya dibebani kewajiban besar dalam perjanjian iklim internasional yang tidak adil. Ia mempertanyakan mengapa Indonesia harus mematuhi perjanjian tersebut ketika negara seperti Amerika Serikat tidak mengikuti komitmen yang telah disepakati.

“Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Paris Agreement)?” ujar Hashim.

Baca Juga:

Hashim menyebutkan perbedaan signifikan dalam emisi karbon antara Amerika Serikat dan Indonesia. Amerika Serikat menghasilkan sekitar 13 ton karbon per kapita per tahun, sedangkan Indonesia hanya 3 ton per kapita per tahun. Ia menilai, meskipun AS merupakan salah satu negara pencemar terbesar, Indonesia justru diminta untuk mengurangi emisi karbon, termasuk menutup pembangkit listrik tenaga uap.

“Ini adalah masalah keadilan. Indonesia 3 ton, Amerika 13 ton, dan Indonesia yang disuruh menutup pusat-pusat tenaga listrik, tenaga uap untuk dikurangi. Rasa keadilannya di mana?” ucap Hashim dengan penuh keprihatinan.

Baca Juga:

Seiring dengan pengunduran diri Amerika Serikat dari Paris Agreement, Hashim mengungkapkan bahwa Indonesia kini tengah mempelajari dampaknya terhadap perencanaan energi dan pembangunan nasional, terutama dalam menghadapi ketidakpastian masa depan terkait transisi energi.

“Indonesia selalu mau menjadi anak baik, the good boy. Tapi, the big boys (anak-anak besar), belum tentu jadi good boy juga, kan?” kata Hashim menambahkan, menggambarkan kondisi ketidakadilan dalam upaya global menanggulangi perubahan iklim.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya juga menyampaikan dilema yang dihadapi Indonesia pasca-penarikan AS dari Paris Agreement. Ia menyoroti biaya tinggi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan, yang lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil, dan kekhawatiran akan berkurangnya dukungan lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan.

Meski demikian, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk mengembangkan energi terbarukan dan menjaga kualitas udara demi tanggung jawab sosial terhadap lingkungan.

Pada 28 Januari 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memastikan bahwa Amerika Serikat secara resmi telah memberi tahu mengenai pengunduran dirinya dari Paris Agreement.

Perjanjian Paris yang diadopsi pada 2015 oleh 195 negara bertujuan untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga di bawah 2 derajat Celsius, bahkan mendekati 1,5 derajat Celsius, guna mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah. (antr) (n/014)

Tags
komentar
beritaTerbaru