jakarta -Di tengah ramainya ibu kota Jakarta, khususnya di kawasan Setiabudi, Kuningan, sebuah fenomena yang menarik perhatian publik telah muncul belakangan ini. Sejumlah warga negara asing (WNA) dari berbagai belahan dunia mendirikan tenda-tenda di sekitar kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Lokasi yang seharusnya menjadi pusat koordinasi bagi upaya bantuan kemanusiaan, kini menjadi sorotan karena keberadaan tenda-tenda ini mulai menimbulkan kekhawatiran dan keresahan di kalangan warga sekitar.
UNHCR, sebuah badan PBB yang bertanggung jawab atas perlindungan pengungsi di seluruh dunia, memang memiliki peran vital dalam menanggulangi krisis pengungsi global. Namun, di Indonesia, kehadiran UNHCR sering kali menjadi perdebatan. Hikmahanto Juwana, seorang ahli hukum internasional yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), menyoroti posisi UNHCR di Indonesia. Dalam pandangannya, keberadaan UNHCR justru menjadi magnet bagi calon pengungsi, meskipun Indonesia bukanlah peserta dari Konvensi Pengungsi 1951 yang mengatur hak-hak individu untuk mendapatkan suaka.
“Ini harusnya UNHCR di Indonesia ditutup karena jadi daya tarik calon pengungsi,” ujar Hikmahanto Juwana, menunjukkan kekhawatiran akan potensi meningkatnya jumlah pengungsi yang mencari perlindungan di Indonesia. Pernyataan ini menimbulkan polemik tentang peran UNHCR dalam konteks negara yang bukan penerima pengungsi resmi seperti Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Kanada yang telah meratifikasi konvensi tersebut.
Keadaan semakin rumit dengan munculnya berita bahwa sejumlah WNA, mencari suaka di tengah-tengah kesibukan Jakarta, membangun tenda di bahu jalan di sekitar kantor UNHCR. Foto-foto yang beredar menunjukkan kepadatan tenda-tenda sementara ini, menggambarkan betapa kompleksnya situasi pengungsi di Indonesia, sebuah negara yang sebenarnya tidak berkewajiban untuk menampung para pengungsi dari negara konflik.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Roy Soemirat, menjelaskan bahwa pihaknya telah aktif berkoordinasi dengan UNHCR untuk menanggapi permasalahan ini. “Kemlu telah mengkomunikasikan permasalahan ini dengan UNHCR dan terus berkoordinasi dengan Kemenkopolhukam serta Pemerintah Daerah dalam upaya penanganan pengungsi,” ujarnya, menegaskan bahwa langkah-langkah yang diambil sesuai dengan tugas dan pembagian kerja di antara lembaga-lembaga terkait.
Di tengah polarisasi pandangan mengenai kehadiran UNHCR di Indonesia, masyarakat sekitar kantor UNHCR di Kuningan, Jakarta Selatan, semakin merasa resah. Kehadiran tenda-tenda WNA ini bukan hanya memicu perdebatan tentang kewajiban negara dalam menanggulangi krisis pengungsi, tetapi juga menggugah pertanyaan tentang peran serta masyarakat sipil dalam menangani masalah kemanusiaan yang semakin kompleks.
Dengan tantangan ini di depan mata, Indonesia dihadapkan pada pertanyaan besar tentang kebijakan migrasi dan perlindungan pengungsi di masa depan. Apakah kehadiran UNHCR di Indonesia masih relevan? Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengelola masalah ini secara lebih efektif? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya mengundang refleksi, tetapi juga menuntut solusi yang berkelanjutan untuk menangani dampak kemanusiaan di tengah dinamika global yang terus berkembang.
Sementara UNHCR berusaha untuk memenuhi mandatnya dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi, tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menanggapi kompleksitas krisis ini secara proporsional, sambil tetap mempertahankan kedaulatan negara dan kepentingan nasionalnya.
Dalam situasi yang semakin kompleks ini, peran media massa sebagai pilar informasi dan advokasi akan menjadi krusial. Melalui liputan yang obyektif dan mendalam, media diharapkan dapat menyuarakan berbagai perspektif yang ada, serta mengedukasi publik tentang isu-isu penting seperti perlindungan pengungsi dan krisis kemanusiaan global.
(N/014)
Kontroversi Tenda WNA di Dekat Kantor UNHCR: Perspektif Hukum dan Keresahan Publik