JAKARTA -Koordinator Staf Khusus (Stafsus) Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskan bahwa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura telah menjadi langkah penting dalam memperkuat jangkauan penegakan hukum di kedua negara. Menurutnya, perjanjian ini merupakan kerangka kerja sama hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 5/2023.
Dalam keterangan kepada wartawan pada Sabtu (23/3/2024), Ari menjelaskan bahwa perjanjian ekstradisi tersebut adalah upaya konkret pemerintah Indonesia dalam memperkuat penegakan hukum nasional dan memberantas tindak pidana lintas negara. Melalui perjanjian ini, Indonesia memiliki landasan hukum untuk menyerahkan pelaku tindak pidana kepada Singapura dan sebaliknya.
Perjanjian ini, menurut Ari, berlaku untuk mengekstradisi pelaku berbagai jenis tindak pidana, termasuk korupsi, pencucian uang, suap, narkotika, terorisme, dan pendanaan terorisme. Hal ini menunjukkan komitmen kedua negara dalam menangani berbagai bentuk kejahatan lintas negara secara efektif dan efisien.
Ari juga menegaskan bahwa perjanjian tersebut berlaku surut selama 18 tahun ke belakang, sesuai dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa dalam Pasal 78 KUHP. Ini memberikan peluang bagi kedua negara untuk menindak pelaku kejahatan yang telah melakukan tindak pidana sejak lama.
Sebelumnya, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menyambut baik dimulainya berlakunya perjanjian antara kedua negara. Dalam unggahannya di akun Instagram resminya, Lee menyatakan kegembiraannya atas mulainya berlakunya perjanjian-perjanjian, termasuk perjanjian ekstradisi, yang ditandatangani dua tahun lalu.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura merupakan langkah maju dalam kerja sama antarnegara dalam penegakan hukum. Dengan adanya kerangka kerja sama yang kuat, diharapkan penanganan tindak pidana lintas negara dapat lebih efektif, serta memberikan keadilan bagi korban kejahatan.
(K/09)
Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura, Berlaku Surut 18 Tahun demi Jerat 31 Buron