BREAKING NEWS
Minggu, 27 Juli 2025

Indef Ragukan Data Kemiskinan BPS: Garis Kemiskinan Dinilai Tak Relevan dengan Kondisi Lapangan

Raman Krisna - Sabtu, 26 Juli 2025 20:26 WIB
96 view
Indef Ragukan Data Kemiskinan BPS: Garis Kemiskinan Dinilai Tak Relevan dengan Kondisi Lapangan
Ilustrasi Kemiskinan di Indonesia. (Foto: Borneo24)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA – Rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penurunan angka kemiskinan nasional menuai sorotan dari sejumlah ekonom.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyatakan keraguannya atas akurasi data tersebut karena dianggap tidak mencerminkan kenyataan yang dihadapi masyarakat, khususnya di perkotaan.

Menurut Esther, kondisi di lapangan saat ini justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, seperti meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tingginya animo pelamar dalam satu lowongan pekerjaan.

Baca Juga:

Ia menilai, hal ini menjadi indikator bahwa garis kemiskinan yang ditetapkan, yakni Rp609.160 per kapita per bulan, belum memperhitungkan kompleksitas ekonomi yang dihadapi masyarakat saat ini.

"Kalau ukurannya hanya Rp600 ribu per bulan, tentu banyak yang kelihatan tidak miskin. Tapi dengan penghasilan Rp1 juta per bulan pun, banyak keluarga yang masih hidup dalam keterbatasan. Jadi, ukuran kemiskinannya perlu dievaluasi," kata Esther, Sabtu (26/7/2025).

Baca Juga:

Esther menambahkan, kemiskinan tidak semata-mata soal angka, melainkan perlu dilihat secara multidimensional.

Di sejumlah wilayah pedesaan, misalnya, masyarakat bisa memiliki akses air bersih dan sanitasi berkat gotong royong dan program pemerintah, meskipun secara pendapatan mereka tergolong miskin.

"Harusnya ke depan indikator kemiskinan mencakup aspek yang lebih luas, bukan hanya pendapatan. Karena bisa saja seseorang secara ekonomi terbatas, tapi memiliki akses dan dukungan sosial yang baik," imbuhnya.

Peneliti dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga menyampaikan pandangan serupa.

Ia menekankan bahwa meskipun angka kemiskinan nasional mengalami penurunan secara umum, perlu ada kajian lebih lanjut mengingat penurunan tersebut didorong oleh perbaikan di wilayah perdesaan.

"Di desa, petani sebagai kelompok mayoritas mendapat manfaat dari kenaikan harga gabah dan komoditas perkebunan seperti kopi, karet, sawit, dan kelapa. Ini meningkatkan pendapatan mereka dan tercermin dalam perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP)," jelas Yusuf.

Namun, situasi berbeda terjadi di wilayah perkotaan.

Kemiskinan justru mengalami kenaikan akibat meningkatnya angka setengah pengangguran, pekerjaan informal, dan gelombang PHK yang lebih masif di sektor industri dan jasa.

"Masyarakat perkotaan makin tertekan oleh ketidakpastian pasar kerja, sehingga meskipun angka nasional terlihat menurun, realitasnya tidak sesederhana itu," tambahnya.

Sebelumnya, BPS mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 tercatat sebanyak 23,85 juta orang, atau 8,47 persen dari total populasi nasional.

Angka ini menurun dari September 2024 yang mencatat 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen penduduk miskin.

Namun jika dirinci, kemiskinan di kota meningkat dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen, sementara di desa menurun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen.

Penurunan ini menjadi angka terendah sejak dua dekade terakhir.

Meski demikian, sejumlah pihak menilai perlu adanya penyempurnaan dalam metodologi dan parameter penghitungan kemiskinan agar benar-benar mencerminkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat saat ini.*

(tt/a008)

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru