BREAKING NEWS
Sabtu, 02 Agustus 2025

Marcell Siahaan di MK: Musisi Takut Tampil karena Pasal Multitafsir UU Hak Cipta

Abyadi Siregar - Kamis, 10 Juli 2025 15:49 WIB
220 view
Marcell Siahaan di MK: Musisi Takut Tampil karena Pasal Multitafsir UU Hak Cipta
Marcell Siahaan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/7/2025). (foto: tangkapan layar yt mahkamah konstitusi RI)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA – Penyanyi Marcell Siahaan menyuarakan kegelisahan para pelaku pertunjukan musik terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/7/2025), Marcell menyoroti pasal-pasal multitafsir yang justru membuat musisi berisiko dikriminalisasi, meski telah membayar royalti.

Dalam kapasitasnya sebagai pihak terkait, Marcell menyampaikan bahwa pelaku pertunjukan saat ini dihadapkan pada ketakutan besar untuk tampil di ruang publik karena kekaburan regulasi yang ada.

Baca Juga:

"Kekaburan sejumlah ketentuan telah menimbulkan efek dominan berupa ketakutan musisi untuk tampil di ruang publik, pembatalan kerjasama pertunjukan, hingga beban ganda bagi promotor dan penyelenggara," ujar Marcell di hadapan majelis hakim.

Ia menyebutkan bahwa bahkan musisi yang sudah menunjukkan iktikad baik dengan membayar royalti tetap bisa terancam somasi hingga laporan pidana.

Baca Juga:

Beberapa pasal yang disorot Marcell antara lain Pasal 9 ayat (3) terkait frasa "jasa penggunaan secara komersial ciptaan", Pasal 23 ayat (5) tentang "orang" dan "membayar imbalan", serta Pasal 113 ayat (2) yang mengatur ancaman pidana.

Menurutnya, ketiga pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang serius.

"Pelaku pertunjukan adalah subjek hukum paling rentan. Mereka tidak punya otoritas teknis seperti event organizer, juga tidak memiliki kekuatan tawar seperti promotor. Tapi justru mereka yang paling sering jadi sasaran somasi, bahkan pidana," tegasnya.

Marcell menekankan bahwa sistem pengelolaan royalti sebenarnya telah diatur secara eksplisit melalui Pasal 89 UU Hak Cipta, serta diperkuat oleh PP No. 56 Tahun 2021 dan Keputusan Menkumham Tahun 2016.

Dalam sistem ini, pengelolaan royalti wajib dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Ia menegaskan bahwa model manajemen kolektif bukan kebijakan opsional, tetapi sistem hukum yang sudah semestinya dipatuhi.

Sistem serupa juga diterapkan secara efektif di berbagai negara, seperti Brasil melalui ECAD dan Italia lewat SIAE.

"Jika pembayaran sudah dilakukan melalui LMK atau LMKN, maka pelaku pertunjukan seharusnya tidak perlu lagi merasa takut dikriminalisasi," imbuh Marcell.

Melalui pernyataannya di MK, Marcell berharap agar Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir yang adil dan memperjelas batasan hukum agar tidak merugikan pelaku pertunjukan, serta memastikan keberlangsungan industri musik yang sehat dan berkeadilan.

"Kami tidak anti terhadap perlindungan hak cipta. Kami hanya ingin kejelasan hukum agar pelaku pertunjukan tidak terus-menerus menjadi korban dari regulasi yang multitafsir," pungkasnya.

Sidang ini turut menghadirkan musisi lain seperti Piyu Padi sebagai pihak yang turut mendukung uji materi terhadap pasal-pasal yang dinilai menimbulkan ketidakpastian dan potensi kriminalisasi di dunia pertunjukan musik.*

(tb/a008)

Editor
: Raman Krisna
Tags
komentar
beritaTerbaru