Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS, Senin (7/7/2025). (foto: tangkapan layar yt setpres)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
RIO DE JANEIRO – Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyerukan diakhirinya pendudukan Israel dan pendirian negara Palestina yang berdaulat dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS, Senin (7/7/2025).
Seruan ini disampaikan Lula dalam sesi khusus yang membahas Perdamaian, Keamanan, dan Reformasi Tata Kelola Global di Rio de Janeiro.
Dalam pidatonya, Lula menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap situasi kemanusiaan di Gaza dan menyoroti meningkatnya eskalasi militer Israel sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
"Tidak ada alasan sama sekali untuk membenarkan tindakan teroris yang dilakukan Hamas," ujar Lula tegas, sebagaimana dikutip dari laman resmi BRICS.
Namun, Lula juga menekankan bahwa kecaman terhadap Hamas tidak boleh dijadikan dalih untuk membenarkan kekerasan sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Ia menuduh Israel melakukan tindakan yang mengarah pada genosida, termasuk pembunuhan warga sipil secara membabi buta dan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.
"Negara-negara BRICS tidak boleh acuh terhadap praktik genosida. Dunia menyaksikan pembunuhan warga sipil tanpa pandang bulu, dan penggunaan kelaparan sebagai alat perang," tegas Lula.
Lula menyatakan bahwa satu-satunya solusi jangka panjang untuk perdamaian di Timur Tengah adalah melalui pengakuan terhadap negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
"Solusi dari konflik tersebut hanya akan mungkin terjadi dengan akhir dari pendudukan Israel serta pendirian negara Palestina yang berdaulat dengan batas-batasnya pada 1967," ujarnya.
Pernyataan ini mempertegas posisi Brasil dan negara-negara BRICS dalam mendukung pendekatan dua negara sebagai dasar penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Selain konflik di Gaza, Lula juga menyinggung berbagai pelanggaran hukum internasional lainnya, termasuk yang terjadi di Iran dan Ukraina.
Ia mengkritik keras lemahnya penerapan hukum internasional yang ia sebut sebagai "surat mati" di tengah meningkatnya konflik global pasca-Perang Dunia II.