BREAKING NEWS
Rabu, 09 Juli 2025

Survei BI: Anak Muda Tak Lagi Optimis soal Penghasilan dan Pekerjaan

Raman Krisna - Selasa, 08 Juli 2025 21:18 WIB
72 view
Survei BI: Anak Muda Tak Lagi Optimis soal Penghasilan dan Pekerjaan
Ilustrasi. (foto: Fakhri Fadlurrohman/km)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA— Hasil survei Konsumen Bank Indonesia (BI) terbaru menunjukkan meningkatnya pesimisme masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja dan prospek penghasilan.

Temuan ini memunculkan kekhawatiran serius dari kalangan ekonom terkait potensi peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan membengkaknya angka pengangguran dalam waktu dekat.

Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) tercatat turun ke level 94,1 pada Juni 2025, atau masuk zona pesimis (<100).

Angka ini lebih rendah dari posisi Mei 2025 yang masih berada di level 95,7.

Pesimisme juga tercermin pada kelompok usia muda (20–30 tahun), yang mulai kehilangan optimisme terhadap Indeks Penghasilan Saat Ini (IPSI) maupun Indeks Ekspektasi Penghasilan.

Keduanya masing-masing turun 1,2 poin dan 7,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, menyebut tren ini sebagai alarm dini bagi pemerintah.

"Ini mencerminkan bahwa masyarakat mulai merasakan atau memproyeksikan tekanan di pasar tenaga kerja, entah karena rekrutmen yang melambat, banyaknya PHK, atau kualitas pekerjaan yang makin tidak menjanjikan," kata Yusuf, Selasa (8/7/2025).

Yusuf menilai menurunnya ekspektasi penghasilan mengindikasikan masyarakat tidak lagi melihat prospek ekonomi rumah tangga yang cerah.

Perubahan perilaku keuangan, seperti meningkatnya konsumsi namun berkurangnya tabungan, menjadi bukti tekanan ekonomi yang dialami warga.

"Konsumsi yang naik ini bukan karena daya beli meningkat, tetapi karena kebutuhan pokok harus dipenuhi meski pendapatan stagnan. Tabungan yang terus terkuras menandakan ruang fiskal keluarga semakin sempit," ujarnya.

Lebih jauh, kondisi tersebut memicu risiko meningkatnya utang rumah tangga, termasuk melalui kanal berisiko seperti pinjaman online (pinjol).

Senada dengan Yusuf, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti gejala "mantab" atau makan tabungan yang mulai meluas di masyarakat.

Fenomena ini mengindikasikan lemahnya daya tahan finansial keluarga, terutama ketika mereka menghadapi situasi mendesak seperti sakit atau kehilangan pekerjaan.

"Ketika tabungan sudah habis, masyarakat cenderung mengandalkan pinjol. Ini berbahaya karena bisa menjerat mereka dalam lingkaran utang berbunga tinggi," tegas Bhima.

Menurutnya, kondisi ini harus segera direspons pemerintah melalui stimulus yang menyasar langsung daya beli masyarakat.

Ia juga mengingatkan risiko menurunnya kelas ekonomi menengah ke bawah jika tren ini dibiarkan berlarut.

"Bila pendapatan terus turun, kelompok menengah akan turun kelas. Ini ancaman jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi," pungkas Bhima.

Pemerintah sendiri tengah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8% dalam jangka menengah.

Namun dengan melemahnya fondasi ekonomi rumah tangga, para pengamat mengingatkan bahwa pencapaian target tersebut akan semakin sulit jika tidak disertai intervensi konkret dan terukur.*

(bi/a008)

Editor
: Raman Krisna
Tags
komentar
beritaTerbaru