JAKARTA - Nama anggota DPR RI Gde Sumarjaya Linggih alias Demer kembali mencuat ke permukaan. Ia diduga terlibat dalam pengadaan alat pelindung diri (APD) senilai lebih dari Rp3 triliun pada awal pandemi COVID-19 melalui PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), tempat dirinya menjabat sebagai Komisaris.
Dugaan konflik kepentingan ini menjadi sorotan tajam publik, sebab pada saat bersamaan Demer juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, komisi yang memiliki fungsi pengawasan terhadap sektor pengadaan barang/jasa pemerintah dan BUMN.
Kontrak Diduga Ditandatangani Sebelum Demer Diangkat Komisaris
Berdasarkan dokumen hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, Demer diangkat sebagai komisaris PT EKI pada 30 Maret 2020, atau tujuh hari setelah perusahaan tersebut diduga menandatangani kontrak pengadaan APD pada 23 Maret 2020, dan dua hari setelah pencairan dana dari negara. Penempatan jabatan strategis ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah jabatan komisaris hanya formalitas atau bagian dari kompensasi pasca kontrak?
"Ini bukan sekadar masalah etika, tetapi menyentuh integritas kekuasaan dan potensi pelanggaran hukum," kata Deri Hartono, Sekjen Garda Tipikor Indonesia (GTI).
Perusahaan Tanpa Izin Medis Dapat Proyek Nasional
Lebih jauh lagi, PT EKI disebut tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK), belum menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan tak punya infrastruktur distribusi medis. Namun, perusahaan ini justru mendapatkan proyek vital berskala nasional saat pandemi.
"Jika seorang anggota DPR merangkap jabatan dalam perusahaan penerima proyek negara dan tidak ada upaya untuk menolak atau membatalkan, ini bisa dikonstruksi sebagai dolus eventualis — bentuk kesengajaan yang dibungkus pembiaran," jelas Deri.
Potensi Pelanggaran Administrasi dan Etik DPR
Dari aspek hukum administrasi, tindakan ini berpotensi melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam UU No. 30 Tahun 2014, khususnya asas ketidakberpihakan. Sedangkan dalam Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, setiap anggota DPR wajib menjaga citra dan integritas lembaga.
"Dugaan pelanggaran etika dalam masa krisis adalah bentuk kejatuhan moral wakil rakyat," tegas Deri.
Potensi Tindak Pidana Korupsi
Dalam perspektif pidana, keterlibatan Demer dapat dikaitkan dengan Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dan mengakibatkan kerugian negara. Posisi strategisnya dalam DPR dinilai memberikan pengaruh dalam jalur distribusi dan pengadaan.
"APH harus serius menelusuri jejak seperti ini. Jangan hanya tangkap yang ambil uang, tapi juga yang ambil posisi dan pengaruh dalam distribusi proyek," katanya.
Tantangan untuk MKD dan Pemerintahan Prabowo
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga dituntut untuk tidak pasif dan segera menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan konflik kepentingan dan pelanggaran etika. Di sisi lain, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang mengusung agenda "bersih-bersih KKN", dinilai perlu menjadikan kasus ini sebagai ujian awal komitmen terhadap penegakan integritas pejabat publik.
"Kalau agenda bersih-bersih itu serius, maka kasus Demer wajib jadi pintu masuk klarifikasi. Ini bukan hanya soal Demer, tapi kredibilitas parlemen dan pemerintahan secara keseluruhan," pungkas Deri.*