BREAKING NEWS
Senin, 04 Agustus 2025

TII Minta Pengesahan RKUHAP Tidak Tergesa-gesa: Ada Risiko Melemahkan Pemberantasan Korupsi

Paul Antonio Hutapea - Kamis, 31 Juli 2025 18:39 WIB
58 view
TII Minta Pengesahan RKUHAP Tidak Tergesa-gesa: Ada Risiko Melemahkan Pemberantasan Korupsi
ILUSTRASI KPK (foto : website kpk)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) mendesak pemerintah dan DPR RI agar tidak terburu-buru dalam mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Menurut TII, revisi ini sangat krusial dan berisiko tinggi jika tidak dikaji mendalam, terutama terkait potensi pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.

"Masih ada waktu. Tidak perlu tergesa-gesa untuk mengesahkan dan mengundangkan KUHAP ini. Lebih baik mengambil waktu lebih panjang daripada produk ini cacat dan banyak dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi," kata Sahel Al Habsy, Peneliti TII, dalam diskusi publik di Gedung KPK, Kamis (31/7/2025).

Baca Juga:

TII, bersama Koalisi Masyarakat Sipil, menyoroti bahwa RKUHAP dalam bentuk saat ini berpotensi menimbulkan impunitas hukum, melecehkan hak asasi manusia, serta memperlemah kewenangan lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal-Pasal yang Disorot: Potensi Tabrakan Lex Specialis

Baca Juga:

Saleh Al Habsy menyoroti dua pasal yang dianggap ambigu dan membingungkan, yakni Pasal 329 dan Pasal 330 dalam draf RKUHAP. Kedua pasal itu dapat menimbulkan konflik hukum karena menyiratkan bahwa aturan lex specialis bisa gugur jika bertentangan dengan undang-undang baru ini.

Bunyi pasal-pasal tersebut adalah:

Pasal 329: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan PPNS dan Penyidik Tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."

Pasal 330: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya Paksa dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."

Menurut TII, ketentuan tersebut berpotensi menganulir kewenangan khusus yang selama ini digunakan oleh lembaga seperti KPK untuk menyidik tindak pidana korupsi secara efektif.

Dalam diskusi yang sama, KPK mengungkapkan pihaknya menemukan 17 poin bermasalah dalam RKUHAP, termasuk:

Pembatasan kewenangan penyelidik

Aturan penyadapan yang lebih ketat

Pencegahan ke luar negeri yang hanya berlaku bagi tersangka, bukan penyelidikan

Melemahnya ketentuan mengenai upaya paksa

KPK telah mengirim surat ke pemerintah dan DPR RI untuk melakukan audiensi khusus mengenai 17 temuan tersebut. Namun, hingga kini, belum ada tanggapan resmi yang diterima.

Penutup: RKUHAP Harus Mendukung Pemberantasan Korupsi

TII dan KPK sama-sama menegaskan bahwa pembaruan KUHAP memang dibutuhkan, mengingat KUHAP saat ini sudah berlaku sejak tahun 1981. Namun, revisi tersebut harus dilakukan secara komprehensif dan inklusif, agar tidak malah menjadi alat baru yang justru melemahkan penegakan hukum dan memberi ruang bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jeratan hukum.

"Kita ingin pembaruan KUHAP yang tidak mengebiri pemberantasan korupsi, tapi justru memperkuatnya," pungkas Saleh.*

Editor
: Justin Nova
Tags
komentar
beritaTerbaru