Sekiranya besok dan lusa atau bulan depan terjadi lagi, dan kepala kepolisian dipecat, itu akan terulang lagi selama akar masalah tidak difahami. Itu sangat pasti.
Tawuran yang berulang di kawasan Belawan, Medan Utara, memperlihatkan pola sistematis yang mengakar pada dinamika historis, politik, sosial, dan ekonomi.
Membahas masalah ini sangat tak mungkin tak menambahkan dimensi analisis spasial terkait kesenjangan antara Medan Utara dan Medan Selatan serta pengaruh pendirian institusi kepolisian dan kejaksaan yang terpisah dari pusat Kota Medan.
Pertama, Fenomena kekerasan kolektif yang terjadi berulang di Belawan, khususnya dalam bentuk tawuran antar-kelompok pemuda, tidak dapat dilepaskan dari konteks kemiskinan, disorganisasi sosial, dan marginalisasi kawasan.
Tawuran ini tampak "terjadwal", seolah menjadi rutinitas dalam siklus konflik di Medan Utara. Untuk memahami akar masalah secara komprehensif, perlu dibedah dalam kerangka multidisipliner.
Kedua, secara hiatoris Belawan adalah kawasan pelabuhan kolonial yang sejak awal didefinisikan sebagai wilayah kerja dan bukan wilayah tinggal yang layak.
Warisan kolonialisme menciptakan ketimpangan infrastruktur, segregasi pemukiman, dan ketimpangan pelayanan publik yang masih terasa hingga kini.
Ketiga, Analisis Politik dan Kelembagaan. Pemekaran kelembagaan penegakan hukum dengan mendirikan kantor Kepolisian dan Kejaksaan Negeri khusus Belawan (terpisah dari Medan Kota) mengindikasikan pengakuan negara atas intensitas konflik di wilayah ini.
Namun, secara bersamaan, hal ini menunjukkan pendekatan yang lebih bersifat represif dibanding preventif.