BREAKING NEWS
Jumat, 17 Oktober 2025

Born to Rule: Prabowo, Sumitro, dan Takdir Sejarah

Redaksi - Minggu, 15 Juni 2025 08:24 WIB
Born to Rule: Prabowo, Sumitro, dan Takdir Sejarah
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Ketiga unsur ini bersatu membentuk ekosistem politik yang langka: seorang jenderal dengan darah intelektual, jejaring politik dinasti, dan fondasi militer yang kukuh.

Inilah yang menjadikan Prabowo sosok yang tidak bisa direduksi sekadar sebagai politikus biasa. Ia adalah sumbu dari tiga kutub kekuasaan yang saling melengkapi.

Ketika Prabowo kalah dalam dua pemilu sebelumnya, sebagian publik melihatnya sebagai militer yang tak berhasil berdamai dengan demokrasi.

Namun, di balik retorikanya yang kerap keras, ada visi yang terus dirawat. Ia membangun sekolah, yayasan, think tank, dan jaringan intelektual, semua untuk satu tujuan: membumikan kembali gagasan-gagasan Sumitro tentang Indonesia yang besar, kuat, dan mandiri.

Dengan terpilihnya Prabowo sebagai presiden, sejarah seolah memberi Sumitro kesempatan kedua. Kini Prabowo bisa merumuskan kembali narasi nasional yang dahulu hanya hidup di atas kertas. Inilah yang membuatnya berpotensi dikenang sebagai pemimpin yang 'born to rule', bukan karena takdir, melainkan karena ia membawa ide besar ke jalur konkret kekuasaan.

Dalam konteks sejarah global, posisi Prabowo memiliki gema historis yang menarik: ia mengingatkan pada Charles de Gaulle, jenderal Prancis yang memimpin negaranya keluar dari kekacauan pascaperang dan membentuk Republik Kelima.

Keduanya datang dari latar militer, tetapi mengusung visi kenegaraan yang berakar pada nasionalisme dan sejarah. De Gaulle mengembalikan martabat Prancis, bukan hanya dengan senjata, melainkan juga dengan fondasi pemikiran kebangsaan. Prabowo pun datang dengan semangat serupa: mengembalikan kedaulatan Indonesia dalam pangan, energi, dan pertahanan.

Gaya pribadi mereka juga memiliki kemiripan. Sama-sama dikenal keras kepala, tegas, dan cenderung tidak kompromistis terhadap prinsip.

De Gaulle tidak lahir dari partai politik, sedangkan Prabowo iya. Namun, mereka punya kemiripan, yakni secara ekositem politik, lahir dari krisis. Kedua mereka berbicara dalam bahasa negara, bukan partai; dalam bahasa sejarah, bukan popularitas.

Mereka menyukai simbol besar dan protokol, tapi di balik itu tersimpan keteguhan misi jangka panjang. De Gaulle menolak menjadi alat elite politik Paris; Prabowo juga kerap menegaskan bahwa ia bukan petugas partai, melainkan penjaga Republik.

Karakter keras kepala Prabowo Subianto dilandasi nasionalisme yang kuat dan dorongan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani. Dalam konteks itu, pilihannya menjadikan Tiongkok sebagai tujuan pertama kunjungan luar negeri seusai terpilih bukan sekadar pragmatis, melainkan pernyataan sikap.

Ia ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak harus tunduk pada orbit kekuatan Barat dan bisa menjalin hubungan strategis dengan kekuatan global lain seperti Tiongkok.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru