Sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2014 (UU PEMDA) tidak memberikan lagi kewenangan apapun untuk Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal pengelolaan SDA dimaksud. Hal ini bisa dicermati pada lampiran pembagian kewenangan dan urusan, kecuali penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota yang diberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditentukan dalam Suburusan Energi Baru Terbarukan (lihat Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral, UU 23/2014, halaman 128).
Peristiwa kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat dan daerah-daerah lainnya, dimana Pemerintah Kabupaten/Kota beserta warga masyarakat tidak memiliki kewenangan apapun terhadap hal tersebut, sehingga tidak bisa berbuat apapun, telah menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka. Pemerintah kabupaten/kota dan warga masyarakatnya hanya menjadi korban bencana kerusakan lingkungan tersebut.
Ketentuan berbeda terdapat di dalam dalam Pasal 156 UUPA yang seharusnya berlaku di Aceh, dimana secara juridis formal Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan dan urusan pengelolaan pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan.
Kalau merujuk pada asas lex specialis derogate lex generalis, maka ketentuan dalam UUPA lah yang harus diberlakukan, bukan UU PEMDA. Tapi faktanya bagaimana saat ini ? Banyak Dinas Pertambangan Kabupaten/Kota di Aceh yang tidak ada lagi diberi kewenangan apapun dan tidak ada lagi yang diurus, padahal kegiatan galian bebatuan atau galian tambang lainnya terus terjadi di kabupaten/kota yang dapat merusak lingkungan.
Dalam Pasal 160 ayat (1) UUPA, ditentukan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama SDA migas yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. Untuk melakukan pengelolaan bersama tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.
Badan tersebut di atas adalah Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA). Jadi badan ini lahir karena diatur dalam atau diperintahkan oleh UU, bukan oleh PP. Sehingga, jika ingin meniadakannya pun mesti melalui UU. Artinya, begitu kuatnya eksistensi BPMA.
Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh. Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama dimaksud, Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengeloaan Bersama SDA Migas di Aceh.
Berlakunya ketentuan dalam UUPA terkait Pengelolaan Migas bisa jadi berbenturan substansi dan mandatorinya dengan UU Migas, maka untuk solusi normative terhadap hal ini juga dapat digunakan asas lex specialis derogate lex generalis, dimana yang diberlakukan adalah UUPA.
Dalam versi Aceh, pemberlakuan asas lex specialis kedengarannya mudah. Namun faktanya menurut versi Jakarta itu tidak mudah. Pemerintah Pusat bersikukuh bahwa ini ranahnya nasional dalam negara kesatuan. Bahkan juga ada yang berargumen menggunakan asas hukum lex posterior derogate lex priori, hukum yang terakhir menganulir hukum terdahulu.
Solusi-solusi dan Prospek Masa Depan Aceh
Terkait adanya persinggugan hukum yang kadangkala memunculkan konflik regulasi, hemat saya solusinya selain menggunakan asas-asas hukum; lex specialis dan lex posterior, juga bisa dilakukan melalui kesepakan bersama seperti yang baru-baru ini dipraktekkan terkait solusi kisruh 4 pulau. Dalam hal solusi implementatif terkait pengelolaan SDA baik sektor ESDM (pertambangan mineral, batu bara, panas bumi) maupun sektor MIGAS hemat saya diperlukan adanya Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dengan Menteri ESDM.