SABTU 21 Juni 2025 saya diminta oleh Organisasi Pemuda ICMI Aceh untuk menjadi salah seorang narasumber pada Seminar Cendekiawan dengan tema Akselerasi Pengembangan Sektor Migas dan Pertambangan Aceh; Menuju Tata Kelola Berkelanjutan dan Keseajhteraan Masyarakat. Narasumber utama dalam seminar tersebut adalah Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Bappeda, serta narasumber lainnya : Kepala BPMA, Rektor USK, Rektor UIN Ar-Raniry, Kepala Dinas ESDM, dan saya sebagai Ketua MPW ICMI Aceh. Seminar yang digelar oleh organisasi PEMUDA ICMI Aceh dihadiri oleh sekitar 300-an peserta dari berbagai komponen strategis masyarakat Aceh.
Sebelum membahas pada pokok permasalahan, saya memulai dengan mengutip ketentuan dalam Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, yaitu Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Mengacu pada ketentuan Konstitusi di atas, maka Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki sifat Istimewa dan memiliki kewenangan-kewenangan khusus. Kedua sifat tersebut telah diatur dengan UU tersendiri, yaitu : UU 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur perihal Kekhususan Aceh. Kajian saya kepada kedua undang-undang tersebut, menyimpulkan bahwa Aceh memiliki 4 sifat keistimewaan dan 26 kekhususan. Dua kekhususan Aceh yang terkait dalam seminar ini adalah perihal Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan pembentukan Badan Pengeloaan Minyak dan Gas Aceh (BPMA).
Sayangnya, walaupun Aceh suatu daerah yang bersifat istimewa dan khusus, namun faktanya, data kondisi Aceh saat ini masih memprihatinkan. Hasil penelusuran saya memperlihatkan bahwa angka-angka sebagai berikut: Kemiskinan 12,64% ke-1 Sumatera (BPS 2024), Korupsi urutan ke-6 nasinal (ICW, 2024), Narkoba tinggi ke-2 (RRI, 1/8/2024), Stunting urutan ke-7 nas (Survei Status Gizi Indonesia, Kemenkes 2023), IPM Aceh 75,36 urutan ke-27 nas (BPS Aceh, 2024), Indeks Pembgn literasi masy relative rendah 72,4 (BPS, 2024), Index kerukunan beragama terendah ke-2 (Kemenag, IUB 2024), dan MTQ peringkat ke-20 nas (Kemenag, 2024).
Kembali ke judul di atas, saya perlu menjelaskan bahwa istilah penguasaan berbeda makna dan filosofi dengan istilah pengelolaan. Dalam konteks hukum, penguasaan adalah aspek legal yang mendasari hak, kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab. Sedangkan istilah pengelolaan lebih merujuk pada aspek manajerial yang berupa perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan penilaian. Sehingga, adalah sesat pikir dan kebijakan, jika ada penjabat yang hendak mengelola suatu territorial tertentu tanpa jelas alas hak penguasaannya.
Terkait penguasaan dan pengelolaan SDA Migas ini ada beberapa undang-undang yang saling bersinggungan, yang perlu ditelaah untuk ditemukan titik singgung dan keharmonisannya. Hal ini penting guna melahirkan kebijakan yang benar-benar dapat diimplementasi dengan sepenuh hati.
Beberapa undang-undang (UU) yang bersinggungan dalam konteks Pengelolaan SDA Tambang dan Migas Aceh adalah antara lain: UU Pokok Agraria, UU Pemerintahan Aceh, UU Lingkungan Hidup, UU Pemerintahan Daerah, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Pulau-Pulau Kecil, dan lain-lain
Aspek penguasaan ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agaria, yang berbunyi; 1. Atas dasar ketentuan dalam Ps 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai dari Negara memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pengelolaan ESDM Aceh
Titik singgung krusial ditemukan antara UU Pemerintahan Aceh dengan UU Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 156 UU No 11 Tahuh 2006 (UUPA) ditentukan; (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3) Sumber daya alam dimaksud meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Jadi, dalam UUPA tegas disebutkan bahwa Pemerintah kabupaten/kota berwenang mengelola SDA baik di darat maupun di laut Aceh.
Sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2014 (UU PEMDA) tidak memberikan lagi kewenangan apapun untuk Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal pengelolaan SDA dimaksud. Hal ini bisa dicermati pada lampiran pembagian kewenangan dan urusan, kecuali penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota yang diberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditentukan dalam Suburusan Energi Baru Terbarukan (lihat Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral, UU 23/2014, halaman 128).
Peristiwa kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat dan daerah-daerah lainnya, dimana Pemerintah Kabupaten/Kota beserta warga masyarakat tidak memiliki kewenangan apapun terhadap hal tersebut, sehingga tidak bisa berbuat apapun, telah menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka. Pemerintah kabupaten/kota dan warga masyarakatnya hanya menjadi korban bencana kerusakan lingkungan tersebut.
Ketentuan berbeda terdapat di dalam dalam Pasal 156 UUPA yang seharusnya berlaku di Aceh, dimana secara juridis formal Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan dan urusan pengelolaan pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan.
Kalau merujuk pada asas lex specialis derogate lex generalis, maka ketentuan dalam UUPA lah yang harus diberlakukan, bukan UU PEMDA. Tapi faktanya bagaimana saat ini ? Banyak Dinas Pertambangan Kabupaten/Kota di Aceh yang tidak ada lagi diberi kewenangan apapun dan tidak ada lagi yang diurus, padahal kegiatan galian bebatuan atau galian tambang lainnya terus terjadi di kabupaten/kota yang dapat merusak lingkungan.
Dalam Pasal 160 ayat (1) UUPA, ditentukan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama SDA migas yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. Untuk melakukan pengelolaan bersama tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.
Badan tersebut di atas adalah Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA). Jadi badan ini lahir karena diatur dalam atau diperintahkan oleh UU, bukan oleh PP. Sehingga, jika ingin meniadakannya pun mesti melalui UU. Artinya, begitu kuatnya eksistensi BPMA.
Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh. Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama dimaksud, Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengeloaan Bersama SDA Migas di Aceh.
Berlakunya ketentuan dalam UUPA terkait Pengelolaan Migas bisa jadi berbenturan substansi dan mandatorinya dengan UU Migas, maka untuk solusi normative terhadap hal ini juga dapat digunakan asas lex specialis derogate lex generalis, dimana yang diberlakukan adalah UUPA.
Dalam versi Aceh, pemberlakuan asas lex specialis kedengarannya mudah. Namun faktanya menurut versi Jakarta itu tidak mudah. Pemerintah Pusat bersikukuh bahwa ini ranahnya nasional dalam negara kesatuan. Bahkan juga ada yang berargumen menggunakan asas hukum lex posterior derogate lex priori, hukum yang terakhir menganulir hukum terdahulu.
Solusi-solusi dan Prospek Masa Depan Aceh
Terkait adanya persinggugan hukum yang kadangkala memunculkan konflik regulasi, hemat saya solusinya selain menggunakan asas-asas hukum; lex specialis dan lex posterior, juga bisa dilakukan melalui kesepakan bersama seperti yang baru-baru ini dipraktekkan terkait solusi kisruh 4 pulau. Dalam hal solusi implementatif terkait pengelolaan SDA baik sektor ESDM (pertambangan mineral, batu bara, panas bumi) maupun sektor MIGAS hemat saya diperlukan adanya Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dengan Menteri ESDM.
Dalam konteks Ilmu Hukum, adanya kesepakatan bersama ini melahirkan asas pacta sun servanda, yaitu kesepakatan yang sah (Ps 1320 BW) yang dibuat para pihak mengikat mereka bagaikan undang-undang. Lalu kesepakatan ini dikukuhkan dalam Kebijakan Administratif sebagaimana diatur baik dalam Pasal 8 UUPA maupun dalam UU Administrasi Pemerintah.
Solusi lainnya adalah agar Pemerintah Aceh merumuskan kebijakan yang tepat menerima investasi tambang dan migas untuk mensejahterakan rakyat dan tidak merusak lingkungan.
Perumusan kebijakan ini sebaiknya melibatkan multi stakeholder demi untuk kemaslahatan bersama.
Pemerintah Aceh bersama pihak kampus di Aceh harus mempersiapkan SDM Aceh dan membangun budaya etos kerja yang adaptif dengan iklim industry untuk menyambut arus investasi tambang dan Migas. Hal ini penting agar jangan sampai terjadi manakala investasi tambang dan migas mulai eksplorasi dan eksploitasi maka orang Aceh hanya jadi penonton, lagee buya krung teu dong-dong, buya tamong meuraseuki.
Jika sudah ada SDM yang handal dengan etos kerja yang tinggi, maka kebijakan memprioritaskan tenaga kerja orang Aceh menjadi suatu hal yang seharusnya. Hal ini penting agar pada akhirnya proses peningkatan pendapatan warga masyarakat yang menimbulkan multiplier effect dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh.*
*) Penulis adalah Ketua ICMI Aceh yang juga Akademisi dan Praktisi Hukum