BREAKING NEWS
Selasa, 09 September 2025

Sengkarut Praperadilan dalam RUU KUHAP

Redaksi - Senin, 08 September 2025 08:30 WIB
Sengkarut Praperadilan dalam RUU KUHAP
Ilustrasi. (foto: icjr)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Muhammad Daffa Alfandy.

KEJAR tayang pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus mengalami eskalasi. Di samping pengesahannya yang harus menyelaraskan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, sejumlah norma pun masih dilakukan pengayaan karena menuai kontroversi dari publik.

Salah satu poin kritis dari draf terkini RUU KUHAP adalah ketentuan mengenai mekanisme praperadilan. Status quo praperadilan mengandung senarai masalah, mulai dari prosesnya yang baru dapat dilakukan setelah pelanggaran prosedur upaya paksa (post factum), hanya memeriksa hal formil, hingga proses pemeriksaannya yang hanya berlangsung 7 hari dan akan gugur dalam hal perkara pokoknya sudah mulai diperiksa.

Baca Juga:

Kondisi tersebut melahirkan suatu hipotesa bahwa perlu adanya mekanisme yang lebih dari praperadilan guna menjamin akuntabilitas upaya paksa.

Pembentuk undang-undang tetap perlu berpedoman pada Pasal 9 ayat (3) ICCPR yang menyatakan bahwa setiap orang yang ditahan termasuk yang dikenakan upaya paksa lainnya harus dihadapkan segera ke hadapan hakim.

Baca Juga:

Ketentuan tersebut sudah sepatutnya dimaknai sebagai landasan untuk menempatkan pengawasan hakim guna memastikan pelaksanaan upaya paksa yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Penetapan Tersangka

Pada RUU KUHAP, semua jenis upaya paksa merupakan objek praperadilan. Namun jika melihat Pasal 149 ayat (1) huruf a justru berbunyi, "Upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk dalam objek praperadilan".

Ketentuan pada Pasal tersebut justru mereduksi seluruh objek praperadilan yang telah ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 ("Putusan 21").

Sekilas dalam Putusan 21, MK secara legal-formal memutus polemik penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan. Dalam putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.

Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

MK beranggapan KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai batasan jumlah alat bukti dari ketiga frasa tersebut. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30/2002 yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal 2 alat bukti.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
BMKG Peringatkan Cuaca Ekstrem di Sulawesi Utara hingga 14 September 2025
Bupati Simalungun Sampaikan Nota Keuangan Rancangan Perubahan APBD 2025, Fokus Swasembada Pangan dan Infrastruktur
Resmikan SPPG, Forkopimda Blitar Optimis Program Makan Bergizi Gratis Dongkrak Perekonomian dan Kesehatan Anak
Pengurus IKA UNTIRTA Lampung 2025–2030 Resmi Dilantik, Fokus ke BLK, UMKM, dan Pengelolaan Sampah
Tabel KUR BCA 2025: Pinjam Rp50 Juta, Cicilan Mulai Rp1,9 Juta per Bulan!
Prakiraan Cuaca Bali Hari Ini, Senin 8 September 2025: Sebagian Besar Wilayah Hujan Ringan dan Sedang
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru