BREAKING NEWS
Jumat, 24 Oktober 2025

Jet Pribadi KPU: Ketika Efisiensi Menjadi Nama Lain dari Kemewahan

Redaksi - Kamis, 23 Oktober 2025 14:41 WIB
Jet Pribadi KPU: Ketika Efisiensi Menjadi Nama Lain dari Kemewahan
Ilustrasi. (foto: AI/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: Raman Krisna.

DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menegur keras jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Dalam putusannya pada 21 Oktober 2025, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU Muhammad Afifuddin, empat komisioner lainnya, serta Sekretaris Jenderal KPU Bernard Darmawan Sutrisno.

Mereka terbukti melanggar kode etik karena penggunaan jet pribadi yang tidak sesuai peruntukannya selama pelaksanaan Pemilu 2024.

Baca Juga:

Rencana awal penggunaan jet pribadi tampak ideal di atas kertas. Pesawat itu disebut akan digunakan untuk memantau distribusi logistik ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), wilayah yang memang sulit dijangkau dengan moda transportasi biasa.

Namun, hasil pemeriksaan DKPP menunjukkan kenyataan berbeda: jet pribadi tersebut digunakan sebanyak 59 kali, dan tidak satu pun penerbangan mengarah ke wilayah 3T.

Dengan alasan masa kampanye yang singkat, hanya 75 hari, jauh lebih pendek dibanding 203 hari pada Pemilu 2019, para komisioner KPU berpendapat bahwa pengadaan jet pribadi merupakan langkah efisien untuk memastikan kesiapan logistik.

Argumen itu tampak rasional di permukaan, tetapi praktiknya menunjukkan kecenderungan berbeda: efisiensi berubah menjadi simbol kemewahan.

Dalam putusannya, Ketua DKPP Heddy Lugito menegaskan bahwa penggunaan fasilitas di luar peruntukan merupakan pelanggaran etik. "Alasan efisiensi tidak bisa menjadi pembenaran atas tindakan yang tidak sesuai tujuan," ujarnya saat membacakan putusan.

Sanksi diberikan kepada Ketua KPU Mochammad Afifuddin, serta empat anggota: Idham Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz. Sekjen KPU, Bernard Darmawan Sutrisno, juga dijatuhi peringatan keras.

Sementara itu, Betti Epsilon Idrus dinyatakan tidak melanggar dan direhabilitasi nama baiknya.

Kasus ini memperlihatkan masalah klasik dalam birokrasi publik Indonesia: kecenderungan elite lembaga negara untuk memaknai efisiensi sebagai kenyamanan pribadi. Dalam banyak kasus, penggunaan fasilitas mewah sering dibungkus dengan dalih percepatan kerja atau efektivitas tugas.

Namun, di balik itu, terdapat jarak moral yang lebar antara mereka yang terbang di udara dan para petugas pemilu di darat yang berjuang dengan sumber daya terbatas.

Pemilu 2024 sendiri dikenal sebagai salah satu pesta demokrasi paling rumit dalam sejarah Indonesia. Di lapangan, ribuan petugas KPPS bekerja di bawah tekanan waktu dan logistik.

Banyak di antara mereka harus mengangkut kotak suara melewati sungai dan jalan berbatu tanpa fasilitas transportasi memadai.

Kontras dengan itu, penggunaan jet pribadi oleh pejabat KPU menampilkan citra yang bertolak belakang dengan semangat kesetaraan dan pengabdian publik yang seharusnya mereka junjung.

DKPP memang tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi pidana atau administratif berat. Namun, keputusan ini mengirimkan sinyal penting bahwa integritas lembaga penyelenggara pemilu bukan hanya soal netralitas politik, tapi juga kesederhanaan dan tanggung jawab moral dalam mengelola anggaran publik.

Sanksi "peringatan keras" mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang. Namun, substansi kasus ini jauh lebih besar daripada sekadar pelanggaran etik administratif.

Ia menyentuh pertanyaan mendasar: sejauh mana para pejabat publik memahami arti tanggung jawab terhadap uang rakyat?

Dalam konteks ini, penggunaan jet pribadi oleh KPU bukan sekadar isu efisiensi, melainkan simbol jarak sosial antara pengelola dan pelaksana demokrasi. Demokrasi Indonesia dibangun di atas semangat kesetaraan: satu suara, satu hak, tanpa melihat status ekonomi atau jabatan.

Ketika penyelenggara pemilu justru menikmati fasilitas eksklusif yang tak bisa diakses masyarakat umum, pesan kesetaraan itu kehilangan bobotnya.

Kritik publik terhadap gaya hidup mewah pejabat negara bukan hal baru. Namun, ketika hal itu terjadi di tubuh lembaga yang seharusnya menjaga kepercayaan publik terhadap pemilu, dampaknya jauh lebih serius.

Kepercayaan terhadap proses demokrasi tak hanya dibangun lewat suara rakyat, tapi juga melalui teladan para penyelenggaranya.

Putusan DKPP ini semestinya menjadi momentum bagi KPU untuk melakukan refleksi. Efisiensi tidak bisa diukur hanya dari kecepatan, melainkan juga dari akuntabilitas.

Di tengah keterbatasan fiskal dan beban kepercayaan publik yang tinggi, setiap keputusan yang melibatkan anggaran harus melewati uji moral dan rasionalitas publik.

Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin, tapi juga tentang bagaimana para pelaksana pemilu menghormati nilai-nilai yang mereka wakili.

Jika KPU ingin mempertahankan kredibilitasnya, mereka harus membuktikan bahwa pengawasan tidak hanya dilakukan dari langit, tetapi juga dengan kaki yang menapak di tanah tempat rakyat berdiri.*


*) Penulis adalah wartawan bitvonline.com.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Mempertanyakan Grand Design Pemko Padangsidimpuan Dalam Menghadapi "Badai" Efisiensi Jilid II 2026?
Kemendagri: Mayoritas Warga Datang ke TPS Karena Politik Uang, Bukan Kesadaran Politik!
KPU Bantah Tudingan Roy Suryo Soal Aturan "Selundupan" untuk Gibran
Roy Suryo Sebut UGM Akan Menyesal Pernah Akui Ijazah Jokowi Asli: Tunggu Tanggal Mainnya!
Lewat BNIdirect Cash, BNI Dorong Tata Kelola Keuangan BPJS Lebih Transparan
Sultan Baktiar: Protes Para Gubernur Soal TKD Bentuk Tanggung Jawab Politik ke Rakyat
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru