JAKARTA – Pada Jumat, 28 Februari 2025, genap empat tahun sejak berpulangnya Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar.
Sosok yang dikenal teguh dengan prinsipnya dalam menegakkan hukum itu meninggal dunia di Jakarta pada usia 73 tahun.
Meskipun sudah tiada, warisan pemikirannya dan pendapat-pendapat hukumnya yang berani, termasuk dalam menangani kasus-kasus besar, terus meninggalkan jejak mendalam dalam dunia peradilan Indonesia.
Artidjo Alkostar, yang lahir di Situbondo, Jawa Timur pada 22 Mei 1948, memiliki karier cemerlang sebagai Hakim Agung dari tahun 2000 hingga 2018.
Ia juga dikenal sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah pensiun dari MA.
Selama menjabat sebagai Hakim Agung, Artidjo terkenal dengan sikap tegasnya dalam memperberat vonis bagi para terpidana kasus korupsi.
Salah satu contoh paling mencolok adalah vonis terhadap beberapa tokoh politik dan pengusaha besar yang terlibat dalam praktik korupsi, termasuk anggota Partai Demokrat Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum, serta politikus Luthfi Hasan Ishaaq.
Vonis yang diperberat Artidjo ini membuatnya menjadi momok menakutkan bagi para koruptor.
Pernah terlibat dalam kasus besar yang melibatkan mantan Presiden Soeharto, Artidjo menunjukkan keberanian dengan memberikan dissenting opinion, yaitu pendapat yang berbeda dengan dua hakim lainnya dalam kasus korupsi yayasan milik keluarga Soeharto.
Meskipun akhirnya Pak Harto dibebaskan karena alasan kesehatan, Artidjo tetap menjadi simbol independensi dan keberanian dalam dunia peradilan.
Dalam kasus korupsi besar lainnya, Artidjo menambah berat hukuman terhadap terdakwa dan memperlihatkan konsistensi dalam menjaga integritas hukum, yang ia yakini sebagai sarana untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia dan memberi harapan terhadap masa depan bangsa yang lebih bersih.
Kepergian Artidjo bukanlah akhir dari pengaruhnya.