MEDAN –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI didesak untuk mengusut dugaan korupsi dan maladministrasi dalam proyek properti besar-besaran yang tengah berlangsung di lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN-II, di Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.
Direktur MATA Pelayanan Publik, Abyadi Siregar, menegaskan bahwa ada potensi praktik korupsi di balik pembangunan properti mewah di atas lahan yang seharusnya hanya untuk kegiatan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hal ini merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang melarang penggunaan lahan HGU untuk pembangunan properti.
“Ada penyimpangan dari peraturan yang ada, yang mengarah pada dugaan korupsi dan maladministrasi. Maka itu, KPK, Ombudsman, dan institusi penegak hukum lainnya harus turun tangan,” tegas Abyadi saat berbicara kepada wartawan di Medan.
Proyek properti yang tengah dibangun di atas lahan HGU PTPN-II ini meliputi beberapa kawasan, antara lain Citra Land Gama City, Jewel Garden, Citra Land City, dan Citra Land Helvetia, yang semuanya berlokasi di Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Helvetia, Kabupaten Deliserdang. Di kawasan-kawasan ini, ribuan unit pertokoan dan perumahan mewah terus dibangun.
Abyadi menjelaskan, proyek properti yang dikerjakan oleh anak perusahaan PTPN-II, Nusantara Dua Propertindo (NDP), bersama PT Ciputra Development Tbk, diduga melanggar ketentuan hukum, karena HGU PTPN-II tidak boleh dialihfungsikan untuk pembangunan properti. Selain itu, ia menyatakan bahwa banyak warga yang digusur secara paksa dari lahan tempat mereka tinggal selama puluhan tahun untuk memberi ruang bagi pembangunan proyek-proyek tersebut.
Abyadi juga mengingatkan bahwa status HGU dapat terhapus jika tanah yang dikuasai dibiarkan terbengkalai. Hal ini tercantum dalam Pasal 34 PP No. 18 Tahun 2021 yang mengatur tentang kewajiban pemegang HGU. Dalam hal ini, Abyadi menyebutkan bahwa banyak lahan HGU yang dikuasai oleh masyarakat selama puluhan tahun tanpa ada tindakan dari PTPN-II untuk mengelola lahan tersebut.
“Tanah HGU PTPN-II di Deliserdang sudah sejak lama dikuasai masyarakat, namun tidak ada upaya dari PTPN-II untuk mengelolanya. Ini berpotensi menghapuskan status HGU secara hukum,” ungkap Abyadi.
Abyadi berharap KPK dan Ombudsman segera melakukan penyelidikan untuk mengungkap praktik maladministrasi dan dugaan kerugian negara yang timbul dari proyek properti ini. Sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman bisa melakukan penyelidikan melalui mekanisme Own Motion Investigation untuk memeriksa bagaimana proyek tersebut dapat terlaksana di atas lahan HGU yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pertanian atau kegiatan lain yang sejenis.
Sementara itu, pihak KPK diharapkan dapat menyelidiki potensi adanya tindak pidana korupsi dalam proyek ini, dengan melihat kemungkinan adanya aliran dana yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Abyadi menegaskan bahwa pembangunan properti di atas lahan HGU yang mengabaikan hak-hak masyarakat setempat adalah bentuk ketidakadilan. Ia menyebutkan bahwa banyak warga yang digusur tanpa mendapat pembelaan yang memadai, sementara pengembang dan pihak-pihak terkait mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan proyek mewah.
“Masyarakat digusur paksa, sementara pengembang difasilitasi. Ini jelas tidak adil. Negara harus melindungi rakyatnya, bukan malah berbisnis dengan tanah yang seharusnya untuk kesejahteraan umum,” ujar Abyadi.
Seiring dengan meningkatnya sorotan publik terhadap kasus ini, diharapkan agar lembaga-lembaga penegak hukum bertindak cepat untuk mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
(N/014)
KPK, Ombudsman Diminta Usut Dugaan Korupsi dan Maladministrasi Proyek Properti di Lahan HGU PTPN-II