BREAKING NEWS
Sabtu, 26 April 2025

Warisan Kartini dan Gelombang Balik Patriarki: Menyelisik Perlawanan terhadap Emansipasi Perempuan di Indonesia

Redaksi - Selasa, 22 April 2025 08:27 WIB
101 view
Warisan Kartini dan Gelombang Balik Patriarki: Menyelisik Perlawanan terhadap Emansipasi Perempuan di Indonesia
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Jaleswari Pramodhawardani

DI sudut-sudut ingatan kolektif bangsa ini, setiap 21 April masih terpatri kuat sosok Raden Ajeng Kartini. Ia bukanlah sekadar nama dalam buku sejarah, melainkan juga bara api emansipasi yang menyala-nyala. Surat-suratnya ialah jendela jiwa seorang perempuan yang mendambakan kesetaraan, pendidikan, dan kebebasan bagi kaumnya.

Namun, lebih dari sekadar romantisme masa lalu, warisan Kartini hari ini justru terasa begitu mendesak, relevan, bahkan getir ketika kita menelisik belantara patriarki yang masih mencengkeram perempuan Indonesia di abad ke-21 ini.

Baca Juga:

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Kekerasan terhadap perempuan, alih-alih menjadi narasi usang, justru menjelma menjadi epidemi sunyi yang merusak kemanusiaan. Dari ranah domestik hingga ruang publik, perempuan terus menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Statistik kekerasan yang dirilis oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan hanyalah representasi kecil dari trauma mendalam yang dialami jutaan perempuan yang hak asasinya dirampas dan tubuhnya diobjektifikasi oleh budaya patriarki yang permisif.

Ironisnya, di tengah hiruk pikuk pembangunan, tubuh perempuan sering kali menjadi medan pertempuran ideologi, komoditas seksual, dan pelengkap statistik pembangunan yang mengabaikan pengalaman subjektif mereka.

Minimnya pelibatan perempuan dalam pembangunan dan pemerintahan juga menjadi tragedi laten yang menghambat kemajuan bangsa. Suara dan perspektif perempuan, yang mewakili separuh populasi, terpinggirkan dalam pengambilan keputusan. Lihatlah representasi jumlah perempuan di berbagai lembaga, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif masih minim sekali.

Ruang kekuasaan didominasi narasi maskulin yang kerap abai terhadap isu-isu spesifik perempuan, dari kebijakan kesehatan reproduksi, perlindungan terhadap kekerasan seksual, penurunan angka kematian ibu dan anak, pemberdayaan ekonomi mikro perempuan, hingga representasi yang adil dalam lembaga publik.

Partisipasi politik perempuan bukan hanya soal angka, melainkan juga tentang menghadirkan kebijaksanaan, keadilan, dan perspektif holistik dalam tata kelola negara. Tanpa keterlibatan aktif perempuan, melalui pengetahuan dan pengalaman mereka yang berbeda dan unik, pembangunan akan pincang dan cita-cita masyarakat yang adil akan sulit terwujud, seperti hari ini bahkan isu kebijakan afirmasi perempuan atau kuota Perempuan mulai ditanggapi dengan sinis dan dingin.

Dalam konteks global, gerakan perempuan telah mencapai kemajuan signifikan. Namun, sebagaimana dianalisis oleh Susan Faludi dalam bukunya Backlash: The Undeclared War Against American Women (2006), kemajuan perempuan sering kali memicu gelombang balik resistensi yang kuat. Faludi memaparkan bagaimana media, budaya populer, dan wacana politik secara halus atau terang-terangan mereduksi pencapaian perempuan, menanamkan kembali ideologi patriarki dan menyalahkan perempuan atas kesulitan yang mereka alami.

Fenomena backlash itu tidak terbatas pada Amerika Serikat, tetapi juga terlihat di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan mewujud dalam berbagai bentuk. Pertama, revitalisasi stereotip gender. Meskipun perempuan telah memasuki berbagai bidang pekerjaan dan pendidikan, stereotip tradisional tentang peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pengurus domestik sering kali dihidupkan kembali.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
PJMI Gelar Pertemuan Nasional, Perkuat Peran Janda Mandiri dalam Ekonomi Kreatif
Menag Nasaruddin Umar: Agama Harus Jadi Penguat Martabat Perempuan, Bukan Alat Diskriminasi
komentar
beritaTerbaru