BREAKING NEWS
Sabtu, 18 Oktober 2025

Bank Tanah dan Eks-HGU: Aset Publik Dan Kepentingan Privat

Redaksi - Kamis, 15 Mei 2025 14:48 WIB
Bank Tanah dan Eks-HGU: Aset Publik Dan Kepentingan Privat
Ilustrasi
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Pernyataan Kepala BPN/ATR Nusron Wahid bahwa 5.873 hektare lahan eks-HGU PTPN di Sumatera Utara kini berstatus tanah negara bebas, membuka kembali perdebatan klasik: siapa yang paling berhak atas tanah eks konsesi negara? Apakah rakyat yang selama ini tinggal dan menggantungkan hidupnya di atas lahan tersebut, negara melalui skema reforma agraria, atau segelintir pemodal properti yang menjadikannya komoditas investasi? Dalam ketimpangan agraria yang semakin kompleks ini, pertanggungjawaban hukum publik menjadi pangkal kritis yang harus dijawab negara secara adil dan transparan.

Pelepasan Hak Guna Usaha (HGU) ke Hak Guna Bangunan (HGB), terutama bagi pengembang yang membangun perumahan di atas eks-lahan BUMN seperti PTPN, menimbulkan banyak pertanyaan hukum dan sosial. Di sejumlah wilayah seperti Deli Serdang, Langkat, dan Binjai, lahan eks-HGU justru dikuasai oleh pihak ketiga tanpa melalui proses distribusi reforma agraria kepada masyarakat sekitar. Padahal, menurut Putusan MA No. 227 K/TUN/2012 dan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, tanah eks-HGU yang tidak diperpanjang wajib kembali menjadi tanah negara untuk didistribusikan demi keadilan sosial.

Menurut Prof. A.P. Parlindungan, pakar hukum agraria terkemuka dari Universitas Sumatera Utara, tanah eks-HGU—terutama milik PTPN II—harus diprioritaskan bagi petani penggarap, rakyat kecil, dan warga yang telah lama bermukim di atasnya. Ia menegaskan bahwa penguasaan fisik dan hubungan historis masyarakat atas tanah tersebut merupakan dasar moral dan yuridis untuk redistribusi, bukan justru dilepaskan kepada pemodal besar atas nama pembangunan perumahan elit atau investasi.

Ironi terjadi saat lahan tersebut malah dikuasai oleh entitas swasta melalui mekanisme land banking. Lembaga Bank Tanah yang dibentuk melalui PP No. 64 Tahun 2021, idealnya bertugas mengelola tanah negara demi kepentingan umum. Namun dalam praktiknya, Bank Tanah belum menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat kecil. Di beberapa kasus, tanah negara justru menjadi instrumen spekulasi aset untuk proyek properti berskala besar, bukan untuk redistribusi kepada petani atau masyarakat adat.

UUPA 1960 menyatakan bahwa tanah negara harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi dalam kenyataannya, banyak eks-HGU yang seharusnya diredistribusi justru dialihfungsikan secara cepat menjadi kawasan perumahan elit tanpa proses hukum yang transparan. Proses alih status menjadi HGB sering tidak melibatkan konsultasi publik, apalagi partisipasi masyarakat lokal. Ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas negara dalam menjalankan mandat reforma agraria secara substansial.

Begitupun Serikat Petani Indonesia (SPI) secara konsisten menegaskan bahwa tanah negara bebas, khususnya yang merupakan eks-HGU milik PTPN 2 di Sumatera Utara, harus diprioritaskan untuk petani kecil dan rakyat tak bertanah. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, dalam berbagai pernyataannya menekankan bahwa redistribusi tanah harus berpihak kepada keadilan agraria yang menjadi semangat reforma agraria sejati, sebagaimana mandat UUPA 1960.

SPI memandang bahwa praktik pengalihan tanah eks-HGU kepada korporasi atau pengembang properti melalui skema bank tanah adalah bentuk penyimpangan dari cita-cita konstitusi. Mereka mengkritik keras tindakan penguasaan tanah oleh swasta yang seringkali mengabaikan keberadaan petani penggarap yang telah lama bermukim dan bekerja di atas lahan tersebut.

"Ini bentuk pemiskinan struktural terhadap petani, yang seharusnya menjadi subjek utama reforma agraria," tegas Henry Saragih.

SPI menuntut agar Kementerian ATR/BPN dan Badan Bank Tanah membuka data dan proses redistribusi lahan secara transparan dan partisipatif, serta mengutamakan verifikasi sosial untuk mengidentifikasi masyarakat yang berhak atas tanah tersebut, bukan menyerahkannya kepada kepentingan elite ekonomi.

Kemudian, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023, terdapat lebih dari 12.000 hektare lahan eks-HGU di Sumatera Utara yang bermasalah secara hukum dan sosial. Banyak dari lahan ini kini diklaim oleh pengembang, dengan perizinan yang diragukan proses pelepasannya. Bahkan Ombudsman RI dalam laporan 2022 mencatat beberapa perumahan berdiri di atas tanah negara tanpa pelepasan hak yang sah. Di sisi lain, warga yang menempati tanah tersebut puluhan tahun tidak mendapatkan kejelasan hukum.

Dalam konteks global, Filipina dan Brasil menjadi contoh reformis. Di Brasil, INCRA (Instituto Nacional de Colonização e Reforma Agrária) mengalokasikan lahan eks-konsesi langsung kepada petani miskin dengan mekanisme pengawasan rakyat. Di Filipina, Department of Agrarian Reform melibatkan organisasi tani dan memastikan bahwa tanah eks-negara bukan untuk spekulasi pasar. Indonesia, dengan semangat UUPA dan cita-cita reforma agraria, seharusnya bisa menempuh jalan yang sama.

Oleh karena itu, pertanggungjawaban hukum publik atas alih fungsi lahan eks-HGU sangat penting. Pemerintah tidak cukup hanya menyatakan status tanah sebagai "negara bebas". Harus ada kejelasan: bagaimana mekanisme redistribusi dijalankan? Siapa yang mendapatkan hak? Apakah prosesnya terbuka dan adil? Tanpa kejelasan ini, Bank Tanah hanya akan menjadi wajah baru dari privatisasi aset negara yang dibungkus jargon kesejahteraan.

Editor
:
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru