BREAKING NEWS
Senin, 28 Juli 2025

Tentang Batakspiegel Kejam

Redaksi - Rabu, 16 Juli 2025 07:40 WIB
142 view
Tentang Batakspiegel Kejam
Batak spiegel : Uitgaven van het Bataksch instituut no 3. (foto: langka.lib.ugm.ac.id)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Shohibul Anshor Siregar

NASKAH tua ini mengajarkan pelajaran paradoksal. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan paling rinci pun bisa menjadi alat penaklukan

Artikel ini tentang masyarakat Batak dalam sorotan kolonial. Tentang narasi etnografi dan kuasa yang ditulis dalam sebuah dokumen berjudul Batakspiegel (1926). Dokumen kuning berjilid kulit itu tergeletak di atas meja kayu Gedung Bataksch Instituut Leiden, memancarkan aura pengetahuan sekaligus penguasaan. Batakspiegel atau "Cermin Batak" terbitan 1926 ini bukan sekadar kumpulan data geografis dan adat istiadat, melainkan mesin politik yang menyamar sebagai karya ilmiah.

Baca Juga:

Setiap halamannya membisikkan kisah ganda: upaya dokumentasi etnografis yang rinci berpadu dengan agenda kolonial yang terselubung rapi. Naskah setebal 382 halaman ini menjadi saksi bisu bagaimana pengetahuan direkayasa untuk melayani kekuasaan, sambil tak sengaja mengawetkan fragmen-fragmen dunia Batak yang mulai retak diterpa modernitas.

Karya monumental ini lahir dari rahim Bataksch Instituut, lembaga kolonial Belanda yang berdiri tahun 1908 dengan misi ambisius: mengumpulkan data selengkap mungkin tentang "Bataklanden" beserta penduduknya. Pada edisi kedua tahun 1926, peta-peta baru hasil survei Topografische Dienst menggantikan sketsa usang, mencerminkan perluasan cengkeraman administratif pasca-aneksasi 1904-1908.

Baca Juga:

Peta itu sendiri menjadi metafora sempurna, garis batas yang digambar Belanda memotong-motong tanah leluhur marga, mengubah hubungan sakral dengan tanah menjadi sekadar blok-blok teritorial yang bisa diatur, dipajak, dan dieksploitasi.

Jejak Kaki Di Bumi Bergolak

Penjelajah Eropa awal seperti Anderson (1823) dan Van der Tuuk (1852) membuka jalan dengan catatan perjalanan penuh prasangka. Mereka terpesona sekaligus jijik menyaksikan praktik kanibalisme ritual, mengabaikan kompleksitas sistem hukum adat di baliknya. Junghuhn dalam ekspedisi 1840 melintasi Mandailing, matanya lebih tertarik pada potensi perkebunan kopi ketimbang falsafah Dalihan Na Tolu. Baru pada pergantian abad, dengan berdirinya Bataksch Instituut, pengumpulan data menjadi sistematis, sekaligus lebih berbahaya.

Misi penelitian Joustra dan Volz tahun 1904-1906 beriringan dengan derap sepatu lars tentara Kolonial. Ketika peneliti mencatat struktur marga di Karo, serdadu merampas senjata tradisional. Saat etnograf menggambar peta persawahan Toba, petugas pajak menyusun register penduduk. Kolaborasi antara sarjana dan penguasa ini mencapai puncaknya dalam "missie-Colijn" 1904, ekspedisi ilmiah yang sekaligus merancang peta aneksasi wilayah-wilayah Batak terakhir.

Bagian-bagian Batakspiegel membelah kehidupan Batak menjadi kategori-kategori yang mudah dicerna administrasi kolonial. Deskripsi geografis yang memetakan enam wilayah utama, Karoland, Timoerland, Pakpakland, Toba, Angkola, Mandailing, disusun seperti laporan intelijen militer. Data kepadatan penduduk di Si Lindoeng (20 jiwa/km²) dan sawah Toba bukan sekadar fakta demografis, melainkan alat menghitung potensi pajak dan tenaga kerja rodi.

Sistem kekerabatan marga yang rumit dipadatkan menjadi skema administratif. Konsep boroe (pernikahan antar kelompok) yang dinamis direduksi menjadi tabel statis. Pengamat kolonial salah menafsirkan hubungan spiritual marga dengan tanah sebagai "kepemilikan", membuka jalan bagi perampasan tanah adat atas nama "pengelolaan lahan tak bertuan". Padahal bagi Batak, tanah persawahan adalah jelmaan nenek moyang, bukan komoditas.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru