BREAKING NEWS
Senin, 28 Juli 2025

Tentang Batakspiegel Kejam

Redaksi - Rabu, 16 Juli 2025 07:40 WIB
139 view
Tentang Batakspiegel Kejam
Batak spiegel : Uitgaven van het Bataksch instituut no 3. (foto: langka.lib.ugm.ac.id)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Ritual tondi dan bëgoe yang sakral dihadirkan sebagai "takhyul primitif". Upacara menghormati tondi (nyawa) dalam kelahiran, pernikahan, dan kematian dicap sebagai praktik takhayul. Penyembahan bëgoe (roh leluhur) yang menjadi landasan kosmologi Batak direndahkan menjadi "kekuatan gelap". Deskripsi tentang kanibalisme ritual sengaja dibesar-besarkan untuk membenarkan misi "pembudayaan", meski praktik ini sudah memudar sebelum kedatangan Belanda.

Mesin Ekonomi Di Balik Topeng Ilmu

Baca Juga:

Data etnografis dalam Batakspiegel bekerja untuk mesin uang kolonial. Catatan rinci tentang jaringan sungai dan jalur perdagangan tradisional berubah jadi peta logistik pengangkutan kopi. Register marga menjadi alat kontrol untuk kerja paksa herendiensten. Bahkan penghapusan perbudakan tahun 1876 yang diagungkan sebagai kemenangan moral, dalam praktiknya menciptakan sistem baru: mantan budak berubah menjadi buruh murah di perkebunan tembakau Deli.

Pembaca jeli akan menemukan jejak pahit eksploitasi terselip di antara deskripsi netral. Ketika teks menyebut produksi kemenyan di Barus, tak diungkap bahwa Belanda memonopoli perdagangannya sejak 1834. Saat memaparkan kesuburan tanah Karo, disembunyikan fakta bahwa 40% tanah adat sudah dirampas untuk korporasi asing. Laporan tentang "kemajuan" jalan raya Arnhemia-Karo ternyata dibangun dengan pungutan tenaga kerja paksa.

Baca Juga:

Suara Yang Dibungkam

Di balik kesan objektif, Batakspiegel membungkam lebih banyak hal daripada yang diungkapkannya. Suara perempuan Batak absen dalam naskah ini, padahal mereka memegang peran kunci dalam pewarisan ulos dan ritual pertanian. Perlawanan halus seperti gerakan Parhudamdam yang menolak pajak hanya disebut sekilas sebagai "kekacauan". Yang paling menyedihkan, adaptasi kreatif masyarakat Batak menghadapi kolonialisme – seperti sinkretisme keyakinan animis dengan Kristen atau Islam – disederhanakan sebagai "kemajuan menuju peradaban".

Tokoh seperti Singamangaraja XII, pemimpin spiritual yang memimpin perlawanan selama 30 tahun, hanya muncul sebagai catatan kaki tentang "kematian pemimpin pemberontak". Padahal jejaknya masih hidup dalam tradisi lisan Batak sebagai pahlawan budaya. Sementara misionaris seperti Nommensen diagungkan sebagai pembawa terang, padahal sekolah zending sengaja didirikan di atas tanah keramat untuk memutus hubungan spiritual dengan leluhur.

Warisan Yang Retak

Satu abad kemudian, Batakspiegel masih memantulkan bayangan kompleks. Di satu sisi, teks ini menyelamatkan detail budaya yang sudah punah, struktur rumah adat Simalungun, ritual mangongkal holi pembongkaran tulang leluhur, atau sistem kalender tradisional berdasarkan siklus bulan. Tanpa catatan Joustra, mungkin dunia sudah kehilangan jejak dialek Batak Phakpak yang kini terancam punah.

Di sisi lain, warisan paling abadi justru kerangka birokrasi kolonial yang tertanam dalam pemerintahan modern. Pembagian administratif Sumatera Utara masih mengikuti garis batas buatan Belanda. Sertifikasi tanah masih bermasalah karena berbenturan dengan konsep kepemilikan adat. Bahkan kebanggaan modern orang Batak terhadap "tradisi" seringkali merupakan tradisi yang sudah disaring dan dibentuk ulang oleh lensa kolonial dalam teks-teks seperti ini.

Kini banyak suara yang yang keluar dari Nurani paling dalam mengeluhkan ketercabik-cabikan karena Pembangunan yang ditandai oleh fakta industry yang memaksa banyak hal tergerus, termasuk ha katas tanah karena korporasi membutuhkan kayu.

Membaca Batakspiegel hari ini seperti membedah arsip dengan dua pisau. Pisau pertama membuka lapisan-lapisan kekuasaan: bagaimana data disusun untuk kontrol, bagaimana budaya dibekukan menjadi "objek studi", bagaimana manusia direduksi menjadi angka statistik. Pisau kedua menyibak celah-celah perlawanan: tradisi lisan yang bertahan, praktik adat yang beradaptasi, memori kolektif yang menolak lupa.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru