BREAKING NEWS
Minggu, 27 Juli 2025

Ekonomi Islam sebagai Solusi Alternatif atas Kegagalan Sistem Kapitalisme dan Komunisme di Era Modern

Redaksi - Minggu, 27 Juli 2025 11:34 WIB
62 view
Ekonomi Islam sebagai Solusi Alternatif atas Kegagalan Sistem Kapitalisme dan Komunisme di Era Modern
Ustazd H. Asrul Fuadi LC. MA. (foto: T. Jamaluddin/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: Ustazd H. Asrul Fuadi LC. MA

DALAM beberapa dekade terakhir, dunia Barat mulai menunjukkan ketertarikan yang serius terhadap studi ekonomi Islam. Hal ini terjadi seiring dengan kian tampaknya kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dan komunisme dalam menjawab tantangan multidimensi umat manusia, mulai dari ketimpangan ekonomi, eksploitasi sumber daya, hingga krisis nilai dalam transaksi.

Sejak masa Rasulullah SAW, praktik ekonomi dalam Islam telah dilaksanakan secara nyata, meskipun skalanya masih terbatas pada sektor perdagangan. Seiring perkembangan zaman, struktur ekonomi global telah bertransformasi menjadi ekonomi industri, dan bahkan kini memasuki era ekonomi digital serta post-industri. Meskipun demikian, prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam tetap relevan dan adaptif untuk menjawab tantangan masa kini dan mendatang.

Baca Juga:

Menurut Asy-Syauqi Al-Fajjari, yang menekankan pentingnya ahammul ushul (prinsip-prinsip fundamental), terdapat sejumlah aspek yang membedakan ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya, antara lain:

1. Pembangunan ekonomi yang menyeluruh dan berbasis pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Baca Juga:

Ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan material semata, tetapi juga pada pembangunan karakter dan moral manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30).

2. Aspek kepemilikan yang seimbang.

Islam menghormati kepemilikan pribadi (al-milk al-khass) sekaligus memuliakan kepemilikan umum (al-milk al-'amm), dengan prinsip bahwa segala kepemilikan sejatinya adalah titipan dari Allah SWT yang harus digunakan secara bertanggung jawab (QS. Al-Hadid: 7).

3. Kebebasan bertransaksi yang dikendalikan oleh etika syariah.

Islam membebaskan manusia untuk berkreasi dan melakukan transaksi ekonomi, namun dengan koridor halal-haram serta prinsip keadilan, transparansi, dan larangan eksploitasi (riba, gharar, maysir).

4. Konsep keadilan sosial-ekonomi.

Islam mencegah terjadinya kesenjangan ekstrem antara kaya dan miskin melalui sistem zakat, infak, sedekah, wakaf, dan redistribusi kekayaan (QS. Al-Hasyr: 7), sehingga kesejahteraan tidak terkonsentrasi pada golongan tertentu.

5. Jaminan sosial sebagai pilar penguatan masyarakat.

Negara dalam sistem ekonomi Islam memiliki tanggung jawab terhadap kebutuhan dasar rakyatnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan—bahkan tanpa syarat ekonomi.

Berbeda dengan paradigma pembangunan konvensional yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi kuantitatif seperti Produk Domestik Bruto (GDP), Islam memandang pembangunan secara holistik. Ukuran keberhasilan ekonomi tidak hanya dilihat dari jumlah kekayaan yang dihasilkan, tetapi juga dari seberapa jauh ekonomi mampu mengatasi kemiskinan, ketertinggalan, dan ketidakadilan.

Dalam ekonomi Islam, pertumbuhan ekonomi tidak hanya bersifat duniawi tetapi juga ukhrawi. Tujuannya bukan sekadar menumpuk kekayaan, melainkan mendekatkan diri kepada Allah melalui aktivitas produktif yang diridhai-Nya (amal shalih). Harta dipandang sebagai amanah yang di dalamnya terdapat hak orang lain (QS. Adz-Dzariyat: 19), sehingga kewajiban sosial menjadi bagian integral dari keberhasilan ekonomi.

Prinsip distribusi yang adil merupakan keniscayaan dalam sistem ini. Islam menolak akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang dan menekankan distribusi kekayaan agar merata dan adil. Hal ini sejalan dengan firman Allah: "Agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. Al-Hasyr: 7).

Lebih jauh lagi, sumber daya alam dalam pandangan Islam bukan hanya aset ekonomi, tetapi amanah generasi. Pengelolaannya harus memperhatikan keberlanjutan dan kepentingan generasi yang akan datang. Sebagaimana perintah Allah agar manusia tidak meninggalkan generasi yang lemah (QS. An-Nisa: 9), maka pembangunan harus berorientasi jangka panjang.

Dalam konteks tersebut, pendidikan memainkan peran sentral. Hanya melalui pendidikan yang berkualitas dan bernilai spiritual-luhur, dapat tercipta insan-insan yang memiliki daya saing global sekaligus memiliki keadilan dalam mengelola sumber daya alam. Ekonomi Islam tidak hanya mendorong pertumbuhan, tetapi juga membangun keadaban—menjadikan manusia sebagai subjek aktif pembangunan yang adil, beretika, dan visioner.*

*) Penulis adalah Alumni Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Madinah

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru