BREAKING NEWS
Sabtu, 25 Oktober 2025

Menata Ulang Desentralisasi Fiskal: Dari Dana Mengendap hingga Momentum Kemandirian

Redaksi - Jumat, 24 Oktober 2025 08:02 WIB
Menata Ulang Desentralisasi Fiskal: Dari Dana Mengendap hingga Momentum Kemandirian
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadhewa. (foto: Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Shendy Adam.

HIRUK pikuk fiskal daerah kembali memanas. Di tengah gejolak ekonomi global dan upaya konsolidasi anggaran negara, sinyal pengurangan Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat menjadi alarm keras bagi banyak kepala daerah. Pengurangan ini bukan sekadar urusan angka, melainkan ujian nyata kematangan desentralisasi fiskal kita.

Bagi banyak pemerintah daerah, TKD adalah nyawa. Selama ini, porsi TKD bisa mencapai lebih dari 40% dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di banyak provinsi. Tak sedikit kabupaten yang bahkan bergantung hingga 70%-80%. Artinya, hampir separuh roda pembangunan daerah disetir dari Jakarta.

Baca Juga:

Ketergantungan ini diperparah oleh kualitas belanja yang sering kali tidak efisien. Di banyak daerah, struktur APBD masih pincang. Alih-alih menjadi anggaran investasi yang produktif, porsi terbesar justru tergerus oleh belanja pegawai yang membengkak.

Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan, belanja pegawai menyedot lebih dari sepertiga APBD di mayoritas daerah. Menyisakan remah-remah untuk belanja publik yang benar-benar produktif.

Ketika TKD dipangkas, ruang fiskal daerah otomatis menyempit. Daerah non-metropolitan, yang rata-rata memiliki pendapatan asli daerah (PAD) di bawah 30%, langsung megap-megap.

DANA MENGENDAP DAN PERDEBATAN BARU
Situasi fiskal daerah semakin memanas setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadhewa menyoroti fenomena dana mengendap di kas pemerintah daerah yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah. Ia menyebut, pola dan kebiasaan belanja daerah perlu diubah agar tidak menumpuk di akhir tahun dan tidak menghambat perputaran ekonomi nasional.

Pernyataan itu segera memicu perdebatan. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membantah data yang disampaikan Menkeu, meski kemudian mengakui dengan angka yang lebih sedikit.

Sebaliknya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung justru mengonfirmasi fenomena tersebut dan menyebut bahwa pemerintahannya tengah melakukan re-engineering perencanaan dan realisasi anggaran agar penyerapan lebih merata sepanjang tahun.

Polemik ini membuka bab baru dalam diskursus relasi fiskal pusat-daerah. Ia menunjukkan bahwa problem desentralisasi fiskal bukan hanya soal besar kecilnya transfer dana, tetapi juga tentang disiplin, pola, dan filosofi belanja daerah itu sendiri.

GODAAN KEBIJAKAN TIDAK POPULIS
Dengan defisit anggaran yang menganga, daerah lantas terdesak mencari sumber uang instan. Cara paling klasik ialah menggenjot PAD, tetapi yang muncul sering kali merupakan godaan kebijakan yang tidak populis dan tidak prorakyat.

Kita menyaksikan kegaduhan rencana penaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) secara ekstrem di beberapa daerah.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Cak Imin Apresiasi Langkah Bersejarah Presiden Prabowo Bentuk Ditjen Pesantren
Jaringan Perdagangan Bayi di Palembang Terbongkar, Polisi Dalami Keterlibatan Media Sosial
Badan Bank Tanah dan Pemprov Maluku Utara Bersinergi Optimalkan Pengelolaan Tanah Negara
DPR Tegaskan Dukungan Sanksi DKPP untuk KPU soal Jet Pribadi Pemilu 2024
Rayakan 27 Tahun Bank Mandiri, Livin’ Fest 2025 Hadirkan Sinergi Lintas Sektor di Medan
Sekdaprov Sumut Togap Simangunsong: Atlet Tinju Harus Fokus dan Tak Boleh Menyerah!
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru