BREAKING NEWS
Minggu, 26 Oktober 2025

Merawat Indonesia Menjadi Bangsa Bermartabat

Redaksi - Sabtu, 25 Oktober 2025 07:58 WIB
Merawat Indonesia Menjadi Bangsa Bermartabat
Ilustrasi. (foto: Unops)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Mohsen Hasan A.

INDONESIA bukan bangsa kecil. Ia lahir dari semangat, darah, dan cita-cita luhur: memerdekakan manusia dari ketakutan, kebodohan, dan ketidakadilan. Namun, di tengah gemerlap kemajuan dan modernitas, kita menghadapi kenyataan getir bangsa ini mulai letih secara moral.

Korupsi, kekerasan verbal, intoleransi, hedonisme, dan manipulasi kebenaran telah menjadi cermin sehari-hari. Padahal bangsa yang besar bukan diukur dari luas wilayah atau kekuatan militernya, tetapi dari kematangan moral dan budi pekertinya.

Baca Juga:

Krisis moral yang kita alami kini bukanlah kebetulan. Ia tumbuh dari tiga akar besar yang rapuh: kebangsaan, kebudayaan, dan peradaban.

Krisis kebangsaan: pudarnya rasa pengabdian
Bangsa ini dibangun atas nilai gotong royong, keikhlasan, dan semangat pengorbanan. Namun kini, nasionalisme lebih sering diucapkan daripada diwujudkan.

Kita menyaksikan elite politik memperlakukan negara sebagai ladang kekuasaan, bukan amanah Tuhan. Kejujuran kehilangan tempat, dan loyalitas lebih banyak diarahkan pada kelompok, bukan pada bangsa.

Generasi muda pun tumbuh dalam ambiguitas: mereka mencintai Indonesia, namun sering tidak percaya pada negaranya. Inilah yang disebut oleh sosiolog modern sebagai krisis legitimasi moral kebangsaan ketika simbol-simbol negara kehilangan makna etiknya.

Merawat kebangsaan berarti menghidupkan kembali etos pengabdian. Bahwa menjadi warga negara bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab moral. Negara harus menjadi cermin keadilan, bukan panggung kepalsuan.

Krisis kebudayaan: dari budaya budi ke budaya bunyi
Bangsa yang beradab, adalah bangsa yang menjadikan kebudayaan sebagai kendaraan moral. Namun kini, budaya kita kehilangan jiwa.

Nilai-nilai luhur seperti malu, hormat, dan sopan santun tergerus budaya instan dan konsumtif. Anak muda lebih mengenal tokoh viral daripada tokoh nasional. Bahasa santun tergantikan oleh ujaran kasar di ruang digital.

Krisis kebudayaan ini adalah krisis jati diri ketika kemajuan teknologi tidak diimbangi kedewasaan batin. Padahal, kebudayaan sejati adalah yang mendidik rasa, membentuk karakter, dan menghidupkan kesadaran.

Merawat kebudayaan berarti menanam kembali akar kearifan lokal. Nilai Sipakatau di Bugis, Gotong Royong di Jawa, Mapalus di Sulawesi, Basusurung di Batak semua adalah pilar kemanusiaan Nusantara yang harus dihidupkan dalam kehidupan modern.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
BI Lakukan Intervensi Intensif untuk Kendalikan Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
Bantah Kemenkeu, Pemprov Sumut Tegaskan Tak Ada Dana ‘Mengendap’ Triliunan Rupiah
Usai Kluivert Mundur, Erick Thohir Tegaskan Tiga Sosok Penting Masih Setia di Timnas
DWP Sumut Gelar Pelatihan Personal Branding, Kahiyang Ayu: Saatnya Perempuan Tumbuh Bersama
Gibran Rakabuming Serukan Santri Kuasai AI dan Blockchain, Ini Pesannya
BI dan Polda Aceh Bersinergi Wujudkan Ekonomi Aman dan Masyarakat Sejahtera
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru