PENEGASAN Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tidak menggunakan APBN untuk menalangi utang proyekKereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) bukan sekadar urusan fiskal. Sikapnya ini memberikan batas tegas antara keuangan negara dan keuangan korporasi.
Pernyataannya tidak memakai APBN sebagai penawar utang proyek KCJB patut diapresiasi.
Pelajaran berharga dari menkeu koboi ini menandai perubahan paradigma politik anggaran, bahwa utang yang lahir dari keputusan bisnis harus diselesaikan dengan instrumen bisnis, bukan dengan kas negara.
Konsistensi itu patut dijaga agar disiplin anggaran ditegakkan, moral hazard dicegah, dan kepercayaan publik terhadap tatakelola fiskal tetap terjaga.
Intervensi fiskal terhadap suatu proyek harus datang dari hulu bukannya muncul tiba-tiba di hilir karena salah kalkulasi.
Proyek KCJB digarap oleh konsorsium BUMN yang berhimpun dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), berpatungan dengan mitra luar negeri Beijing Yawan High-Speed Rail (HSR) Co. Ltd. untuk membentuk PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Di dalam ekosistem ini, ada pula Badan Pengelola Investasi (Danantara Indonesia), sebuah lembaga pengelola investasi negara yang dirancang memisahkan kekayaan korporasi dari keuangan negara.
Sejak awal, proyek ini dipromosikan tidak akan membebani APBN. Skema pendanaan yang dipilih adalah business-to-business kemitraan antar-badan usaha, dengan penekanan risiko utama ada pada pelaku usaha.
Dalam perjalanan, terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) serta perubahan desain dan jadwal.
Celah regulasi kemudian dibuka melalui Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tertentu sehingga ruang penjaminan pemerintah dan injeksi permodalan kian longgar.
Tak lama, Penyertaan Modal Negara (PMN) masuk ke salah satu anggota konsorsium untuk memperkuat ekuitas.