Sementara itu, mantan Inspektur Nias Selatan Emanuel Telaumbanua mengakui pernah mengikuti rapat koordinasi awal dalam proses rekonsiliasi tahun 2020. Menurutnya, pertemuan itu berlangsung di kantor DPMD dan dihadiri oleh berbagai pihak pertengahan 2021.
"Saya ingat betul, saya hadir bersama Irban Satu dari Inspektorat. Hari pertama saya ikut dari pagi sampai siang. Karena tidak ada makan siang, peserta bubar. Pertemuan dilanjutkan sore, tapi saya kembali ke kantor," kenangnya.
Emanuel menyebut Irban Satu-lah yang melanjutkan mengikuti rapat hingga selesai. Saat itu, semua desa di Nias Selatan berada di bawah pengawasan Irban tersebut. Menariknya, ia mengaku tidak pernah menerima daftar resmi jumlah potongan per desa.
"Kalau Pak Sekda hadir, saya tentu tidak akan berani memerintahkan peserta menyetor uang. Dan saya sendiri tidak pernah menerima daftar lengkap hasil rekonsiliasi itu," ungkapnya.
Padahal, dalam sistem keuangan negara, potongan atas dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan adalah bentuk pengakuan adanya kerugian negara. Dan semestinya, kerugian negara harus ditelusuri, dicatat, dan jika perlu, diproses pidana.
"Kami hanya mengikuti proses. Tidak tahu lagi setelah itu," kata Albert.
"Saya tidak terima datanya," kata Emanuel.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?
Ketika Dana Kembali, Tapi Penanggung Jawab Tak Dicari
Dalam pengelolaan anggaran negara, memotong dana bukan berarti menyelesaikan masalah. Uang bisa dikembalikan ke kas, tapi keadilan tidak bisa dipulihkan begitu saja. Apalagi jika pelaku sesungguhnya tak pernah dipanggil, apalagi diperiksa.
Proses rekonsiliasi telah berlangsung. Pemotongan sudah dilakukan. Tapi tak satu pun pejabat lama disoal. Tak satu pun lembaga pengawasan mengungkap nama.