JAKARTA - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menggunakan pendekatan Omnibus Law dalam merumuskan Undang-Undang bertema politik, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik. Pemerintah lebih memilih kodifikasi politik sebagai arah penyusunan peraturan perundang-undangan ke depan.
Pernyataan ini disampaikan Bima dalam diskusi publik terkait UU Pemilu yang digelar di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Selasa (19/5/2025).
"Kita tidak mau Omnibus Law, Bang Jansen. Sudah jelas Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJMN menyatakan kita menempuh sistem kodifikasi politik, bukan Omnibus Law," ujar Bima Arya.
Menurutnya, pendekatan kodifikasi berarti membentuk Undang-Undang baru secara sistematis dan menyeluruh, bukan sekadar revisi dari berbagai UU yang digabungkan seperti dalam pendekatan Omnibus Law.
"Omnibus Law itu undang-undangnya masih ada, dikumpulin, diubah dikit-dikit, cepat. Tapi kodifikasi artinya kita buat Undang-Undang baru, lebih matang dan fokus, walau prosesnya lebih lama," tegasnya.
Bima ingin memastikan bahwa arah reformasi hukum politik tidak sekadar pragmatis, melainkan dibangun dengan pendekatan jangka panjang dan menyeluruh, sejalan dengan visi pembangunan nasional.
RUU Omnibus Law Politik Masih Belum Dibahas DPR
Sebelumnya, wacana penggunaan Omnibus Law dalam UU Politik digulirkan oleh Komisi II DPR RI, yang ingin merevisi beberapa Undang-Undang sekaligus, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik.
Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menegaskan bahwa RUU Omnibus Law Politik belum akan dibahas dalam waktu dekat karena masih berlangsungnya proses politik seperti Pilkada dan tahapan pemilu lainnya.
"Proses Pilkada masih terjadi. Pemerintah yang baru berjalan empat bulan ini sedang melakukan penataan demi penataan," ujar Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2).
Dengan demikian, wacana kodifikasi politik yang disampaikan oleh Wamendagri Bima Arya menunjukkan arah berbeda dari usulan awal Komisi II, yakni untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan memperkuat sistem hukum politik nasional secara terintegrasi.*