JAKARTA — Pemerintah kembali mendapat sorotan tajam setelah Kementerian Investasi/Hilirisasi (BKPM) mengungkap potensi investasi sebesar Rp2.000 triliun yang batal masuk ke Indonesia sepanjang 2024.
Angka ini menambah daftar panjang kegagalan pemerintah dalam mengoptimalkan iklim usaha yang kondusif di masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, menyebut pembatalan investasi disebabkan oleh sistem perizinan yang rumit, kebijakan yang tumpang tindih, dan iklim usaha yang tidak kompetitif.
"Realisasi investasi mungkin hanya mencapai Rp1.500 triliun. Ada potensi Rp2.000 triliun investasi yang tidak terealisasi," ujar Todotua dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (3/7).
Pemerintah berupaya merespons persoalan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
PP ini mengintegrasikan regulasi OSS (Online Single Submission) serta menjanjikan penyederhanaan izin, terutama di kawasan industri dan KEK.
Namun, para pengamat menilai solusi ini belum menyentuh akar persoalan.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa investasi batal masuk karena inefisiensi kebijakan, ketidakpastian hukum, intervensi aparat keamanan di sektor ekonomi, serta merosotnya peringkat daya saing Indonesia secara global.
"Peringkat efisiensi pemerintah Indonesia turun dari 23 ke 34, dan peringkat kerangka kelembagaan anjlok 26 poin. Ini mencerminkan persoalan sistemik," kata Huda.
Ia juga menyoroti tingginya ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia yang menunjukkan bahwa biaya investasi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh investor.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyoroti masalah koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengurusan izin.
"Banyak daerah belum memiliki kesiapan administrasi seperti rancangan tata ruang. Padahal, investasi harus sejalan dengan penataan ruang. Ini membuat proses investasi terhambat," jelas Yusuf.
Ia juga menyoroti praktik pungutan liar, aturan yang kerap berubah, serta proses legislasi yang terburu-buru seperti dalam kasus UU Cipta Kerja, yang malah memunculkan ketidakpastian hukum.
Baik Huda maupun Yusuf menyarankan agar pemerintah meninjau ulang efektivitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang terbukti belum maksimal dalam menarik investor.
Selain itu, penempatan TNI dan Polri aktif maupun purnawirawan dalam instansi-instansi ekonomi perlu dievaluasi.
"Penempatan aparat di sektor ekonomi harus ditinjau ulang. Serahkan kepada profesional sipil agar efisiensi dan kepercayaan investor meningkat," tegas Huda.
Sementara Yusuf meminta agar insentif investasi tidak hanya difokuskan pada pemotongan pajak, melainkan diarahkan ke insentif non-fiskal seperti kepastian hukum, kemudahan logistik, dan ketersediaan infrastruktur pendukung.
Kegagalan masuknya investasi Rp2.000 triliun menjadi tamparan keras bagi pemerintah.
Reformasi regulasi, birokrasi, dan tata kelola harus dilakukan lebih dari sekadar OSS atau insentif fiskal.
Tanpa perubahan menyeluruh, Indonesia terancam tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia yang kini makin kompetitif dalam menarik modal asing.*