JAKARTA -Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menegaskan bahwa penugasan prajurit TNI untuk pengamanan institusi Kejaksaan harus dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan konstitusi serta ketentuan hukum yang berlaku.
Ia menyoroti bahwa keterlibatan TNI dalam konteks pengamanan tidak boleh melampaui batas kewenangan, khususnya menyangkut substansi penegakan hukum yang menjadi domain penyidik Korps Adhyaksa (Kejaksaan).
"TNI tidak boleh masuk ke dalam substansi penegakan hukum, karena itu bukan tugas dan fungsinya. Cukup memberikan pengamanan semata," tegas Hasanuddin dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (16/5/2025).
Hasanuddin juga menekankan bahwa penugasan ini tidak boleh bersifat permanen.
"Penugasan ini harus bersifat temporer, artinya hanya berlaku dalam situasi khusus. Kalau situasi sudah normal, TNI harus kembali ke fungsi utamanya," ujarnya.
Menurutnya, dasar hukum pengamanan terhadap Kejaksaan telah tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam Pasal 30C huruf c, disebutkan bahwa pengamanan Kejaksaan adalah tanggung jawab Kepolisian.
Hasanuddin juga menyatakan bahwa meskipun Presiden memiliki kewenangan diskresi seperti diatur dalam Pasal 10 UUD 1945, penggunaannya harus tetap terbatas dan proporsional.
Ia menjelaskan bahwa Rancangan Peraturan Presiden (RPP) sebagai turunan teknis dari UU Kejaksaan masih dalam proses. Maka, dalam situasi darurat atau menghadapi ancaman nyata, pengerahan TNI bisa dipahami selama tidak menyimpang dari konstitusi.
Telegram Panglima dan Polemik di Masyarakat
Sebelumnya, Panglima TNI mengeluarkan Surat Telegram (ST) Nomor TR/422/2025 yang memerintahkan dukungan pengamanan terhadap Kejaksaan Tinggi dan Negeri di seluruh Indonesia. Hal ini langsung ditindaklanjuti Kasad dengan ST/1192/2025 yang mengatur pengerahan personel dari satuan tempur dan bantuan tempur: 30 personel untuk Kejati, 10 personel untuk Kejari.
Langkah ini menuai kritik karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara aparat militer dan sipil dalam konteks negara hukum.