MEDAN – Langkah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikabarkan akan mengambilalih kepemimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menuai sorotan berbagai kalangan.
Shohibul Anshor Siregar, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menilai keterlibatan Jokowi pasca-kepresidenan dalam PSI bukanlah fenomena politik biasa, melainkan gejala mendalam dalam pergeseran demokrasi elektoral Indonesia menuju bentuk post-populisme.
"Ini bukan sekadar soal Jokowi pindah partai atau menciptakan kendaraan politik baru. Ini bagian dari institusionalisasi pengaruh pasca-kekuasaan yang sangat kompleks. PSI bisa menjadi miniatur krisis demokrasi Indonesia jika tidak diarahkan secara deliberatif," ujar Shohibul saat diwawancarai pada, Sabtu (15/6/2025).
Menurutnya, fenomena ini sejalan dengan teori post-populisme seperti yang dikembangkan oleh Benjamin Moffitt. Dalam model ini, pemimpin populis setelah berkuasa cenderung menjinakkan retorika anti-elite dan beralih menguasai institusi politik demi kelangsungan pengaruhnya.
Ia mencontohkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan yang semula tampil sebagai reformis, namun kemudian mengkonsolidasikan kekuasaan melalui partai politiknya, AKP.
"Jika PSI diarahkan ke jalur serupa, maka kita berhadapan dengan risiko demokrasi prosedural yang dibungkus jargon modern, tetapi sejatinya menjauh dari cita-cita partisipasi dan deliberasi," jelasnya.
Shohibul juga menyoroti kesenjangan antara citra PSI yang mengusung semangat anak muda dan praktik internal yang masih elitis.
Meskipun diklaim bahwa mayoritas kader PSI berusia di bawah 40 tahun, namun dicurigai bertradisi yang sama dengan partai yang ada, yakni hanya sedikit yang terlibat aktif dalam penyusunan kebijakan partai. "Retorika digital dan modern belum tentu berbanding lurus dengan demokratisasi internal," tambahnya.
Ia membandingkan PSI dengan Partai Hijau di Jerman, yang mampu mengintegrasikan partisipasi kader muda dengan mekanisme deliberatif berbasis digital. Namun, ia pesimis hal serupa bisa terwujud di PSI, jika dominasi figur seperti Jokowi tak diimbangi dengan struktur organisasi yang transparan dan partisipatif.
Dari sisi pendanaan, Shohibul juga mempertanyakan ancaman ketergantungan partai ini kepada segelintir elite ekonomi. Apalagi yang dekat dengan proyek-proyek infrastruktur dan proyek ekstraktif yang banyak merugikan negara.
Shohibul memetakan tiga kemungkinan skenario transformasi PSI ke depan. Pertama, PSI menjadi seperti AKP di Turki: partai yang kuat secara elektoral namun mengarah ke otoritarianisme institusional.
Kedua, mengikuti jejak New Labour-nya Tony Blair di Inggris—partai yang tampil modern dan progresif namun kehilangan pijakan ideologis. Ketiga, yang paling ideal namun sulit, adalah menjadi partai deliberatif seperti digambarkan Jürgen Habermas.