BREAKING NEWS
Senin, 28 Juli 2025

Revisi KUHAP Memang Sangat Urgent

Redaksi - Sabtu, 19 April 2025 16:34 WIB
425 view
Revisi KUHAP Memang Sangat Urgent
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Belum lagi memastikan adanya perjumpaan kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus) dalam deelneming tersebut. Jadi, peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana demikian diperlukan.

Selanjutnya, menyangkut tindakan penahan yang selama ini cenderung berdasarkan penilaian subjektif semata berpotensi untuk diselewengkan. Dikatakan demikian oleh karena dalam KUHAP, alasan subjektif adanya kekhawatiran akan melarikan diri ditentukan dengan penilaian yang juga subjektif semata. Tidak demikian dalam RUU KUHAP, terdapat parameter yang jelas.

Baca Juga:

Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 93 Ayat (5), yakni dengan adanya kondisi-kondisi tertentu seperti: mengabaikan panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; tidak bekerjasama dalam pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.

Lebih lanjut, KUHAP sesuai dengan penamaannya, maka keberadaannya dirancang guna memastikan bekerjanya hukum pidana materil yang berkepastian hukum, berkeadilan dan mampu menghadirkan kemanfaatan. Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri.

Baca Juga:

Kepentingan hukum dimaksud adalah kepentingan hukum negara (staatsbelangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum individu (individuale belangen). Dalam kaitan ini, RUU KUHAP telah mengakomodir kepentingan hukum dimaksud, utamanya bagi kepentingan hukum individu dalam hal adanya penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian.

Penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice), dipandang menjamin kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri. Hal ini tentu adalah kebaruan yang tidak ada sebelumnya. Namun, secara praktik sudah dilakukan, utamanya dan paling sering di tingkat penyidikan.

Bahkan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, dan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Kepolisan juga telah mengaturnya, yakni melalui Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Makamah Agung juga demikian, telah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dengan hadirnya hukum acara yang baru, maka pengaturan keadilan restoratif tidak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana. Kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan sebagaimana menjadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium.

Penggunaan sanksi pidana seharusnya menjadi 'langkah terakhir' (last resort). Terkait dengan hal ini, perlu diketahui bahwa KUHP baru telah menganut doktrin dualistik, di mana antara perbuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea) tidak lagi digabungkan sebagaimana doktrin monistik, melainkan dipisahkan secara tegas.

Dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif dalam KUHAP yang baru, maka perdamaian tersebut menghilangkan kesalahan sebagai unsur subjektif. Perbuatan memang ada, namun dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif, pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dikatakan demikian mens rea sebagai dasar pertanggungjawaban pidana sudah tidak ada lagi dengan adanya penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif.

Lebih lanjut, perlu penulis sampaikan terkait dengan usulan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Konsep HPP pernah diperkenalkan dalam RUU KUHAP pada tahun 2012, dan dimaksudkan untuk menggantikan praperadilan. Menurut penulis, keberadaan HPP dalam sistem peradilan pidana terpadu patut dipertanyakan.

Dikatakan demikian oleh karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai contoh, untuk menentukan sah atau tidaknya penetapan status tersangka dan tindakan penyidik seperti penahanan, penyitaan dan lain sebagainya, jika harus ditentukan oleh HPP, maka demikian itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru