Di sisi lain, paradigma pemenuhan unsur-unsur delik oleh penyidik adalah berbeda dengan paradigma pembuktian yang dilakukan oleh hakim saat proses persidangan. Oleh karena itu, keberadaan HPP dalam sistem peradilan pidana terpadu bertentangan dengan aksiologi hukum yang kita anut, yakni "kepastian hukum yang adil".
Kehadiran HPP dengan kewenangan tersebut adalah memberikan kewenangan yang tidak proporsional. Padahal, masing-masing instansi dalam struktur hukum telah dibedakan dan termasuk masing-masingnya memiliki fungsi dan kewenangan tersendiri. Prinsip diferensiasi fungsional pada dasarnya adalah membedakan dan bukan mengkompromikan, apalagi salah satunya (in casu HPP) dapat menegasikan fungsi dan kewenangan lembaga lain (in casu penyidik).
Secara teknis memasukkan HPP dalam RUU KUHAP sebagaimana dimaksudkan tidak dapat diaplikasikan. Selain usulan dimaksud hanyalah memindahkan masalah, namun juga akan menimbulkan masalah baru. Dalam penilaian status tersangka dan tindakan penahanan, bukanlah persoalan siapa yang paling berhak menentukan, akan tetapi kejelasan dan pengetatan persyaratan menjadi hal utama. Di sini bukan dilihat aktor penegak hukumnya, akan tetapi sistem dan mekanisme pada institusi penegak hukum masing-masingnya.
Terlebih lagi, sebagaimana kita ketahui, bahwa beberapa hakim ditangkap, seperti tiga hakim pada perkara korupsi minyak goreng, pada perkara Ronald Tannur dan baru-baru ini empat hakim ditangkap dalam perkara ekspor CPO. Kondisi demikian menunjukkan penyuapan demikian menguat kepada hakim. Dengan demikian, selain masalah ketersediaan hakim yang tidak sebanding dengan jangkauan dan tingkat kejahatan, kondisi ditangkapnya para hakim itu justru akan melemahkan kepercayaan publik jika HPP masuk dalam RUU KUHAP dengan wewenang yang mengamputasi fungsi dan kewenangan penyidikan.
Jika, HPP masuk ke hulu penegakan hukum dengan wewenang menilai atas fungsi dan kewenangan penyidikan tersebut, maka demikian itu adalah "menyamakan sesuatu yang berbeda". Tindakan penyamaan terhadap sesuatu yang berbeda adalah tidak adil dan sekaligus tidak benar.
Perlu ditekankan, bahwa pembaharuan hukum yang tidak sejalan dengan asas/prinsip hukum akan melahirkan konflik norma (antinomy) yang dampaknya jauh lebih besar daripada penerapan hukum akibat adanya pemahaman teks hukum yang multitafsir. Kemudharatan yang terjadi juga lebih besar ketimbang kemashlahatan yang ingin diperoleh, jika HPP diterima dalam RUU KUHAP.
Oleh karena itu, hendaknya kita mencermati dalil dalam kaidah fiqih, "dar'ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih", bahwa mencegah mudharat lebih baik daripada mendapatkan mashlahat.(news.detik.com)
*)Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI).