MEDAN — Polemik status ribuan hektar tanah eks-HGU (Hak Guna Usaha) di Sumatera Utara (Sumut) kembali mencuat, setelah Kementerian ATR/BPN pada tahun 2023 menetapkan sebagian dari lahan tersebut sebagai "tanah negara bebas".
Dalam keterangannya, Shohibul mengungkap bahwa sistem HGU di Sumatera Timur merupakan warisan kolonial yang sangat problematik. "Kemitraan antara kesultanan Melayu—seperti Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan—dengan pemerintah kolonial Belanda dalam alokasi lahan perkebunan, telah melahirkan ketimpangan penguasaan tanah yang akut, sekaligus eksploitasi tenaga kerja yang brutal," ujarnya.
Revolusi Sosial 1946 yang mengguncang Sumatera Timur, menurutnya, tidak serta merta menghasilkan keadilan agraria. Sebaliknya, negara menggantikan struktur tradisional dengan pola kekuasaan sentralistik melalui BUMN seperti PTPN tanpa proses redistribusi tanah yang adil. "Alih-alih membawa keadilan, ini justru memperpanjang marginalisasi masyarakat lokal," katanya.
Tanah Negara Bebas: Bebas dari Siapa, untuk Siapa?
Shohibul mempertanyakan retorika "tanah negara bebas". "Apakah ini benar-benar membebaskan masyarakat dari belenggu ketidakadilan agrarian?
Atau hanya memindahkan aset dari satu elite ke elite lainnya?" tanyanya kritis. Ia menekankan pentingnya mekanisme alokasi yang transparan dan partisipatif agar tidak menciptakan ketimpangan baru.
Oligarki, Premanisme, dan Pertarungan Aset
Lebih jauh, Shohibul menyoroti potensi pertarungan politik dan ekonomi atas tanah eks-HGU tersebut. Ia menyebut bahwa dalam konteks pasca-revolusi, aktor-aktor informal seperti preman dan kelompok bersenjata kerap digunakan oleh elite politik untuk mengamankan kepentingannya.
"Relasi patron-klien antara elite dengan kelompok preman menjadi instrumen efektif dalam penggusuran, intimidasi, hingga penguasaan aset secara ilegal," jelasnya.
Shohibul juga membandingkan kondisi ini dengan Yogyakarta yang memperoleh keistimewaan dan kontrol formal atas tanah melalui kerangka hukum. "Sementara Sumatera Timur justru diputus total dari akar kekuasaan lokalnya. Ini mencerminkan politik pengakuan yang selektif oleh negara," tambahnya.
Ketimpangan Ekonomi dan Ancaman Marginalisasi Baru