BREAKING NEWS
Sabtu, 05 Juli 2025

Nasib Tak Setara Lembaga Adat: Pecalang Diperkuat Negara, Ulu Balang Dihapuskan

Adelia Syafitri - Senin, 12 Mei 2025 23:21 WIB
1.501 view
Nasib Tak Setara Lembaga Adat: Pecalang Diperkuat Negara, Ulu Balang Dihapuskan
Shohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya).
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

MEDAN - Sebuah ironi mencolok mengemuka dalam kebijakan pelestarian budaya di Indonesia. Ketika Pecalang—lembaga adat keamanan tradisional Bali—diperkuat melalui pengakuan hukum dan dukungan negara, lembaga serupa di Tanah Batak, Ulu Balang, justru menghilang dari struktur sosial masyarakat.

Di balik ketimpangan ini, tersimpan jejak panjang intervensi kolonial dan bias kebijakan yang belum benar-benar pulih sejak Indonesia merdeka.

Menurut Shohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya), perbedaan nasib ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan pembangunan budaya yang partisipatif dan berkeadilan.

Baca Juga:

"Pecalang di Bali dikuatkan oleh negara melalui Perda dan Awig-awig. Tapi Ulu Balang di Tanah Batak, justru dilenyapkan karena dianggap bertentangan dengan agenda zending kolonial yang bekerja sama dengan kekuasaan Hindia Belanda," ungkap Shohibul dalam wawancara investigatif yang dilakukan tim BITVOnline di Medan, Senin (12/05/2025).

Menurut Shohibul, pendekatan negara terhadap kebudayaan masih sarat dengan logika kolonial: memilah, menundukkan dan menghapus institusi lokal yang dianggap tidak sesuai dengan narasi nasional atau dominasi agama tertentu.

Baca Juga:

Warisan Zending dan Hilangnya Peran Ulu Balang

Dalam penelusuran sejarah yang dilakukan nBASIS, Ulu Balang dulunya memegang peranan penting dalam pengamanan wilayah adat dan menjaga keseimbangan relasi sosial antara raja, huta (kampung), dan hukum adat.

Namun sejak masa kolonial dan ekspansi zending Kristen di Tanah Batak, lembaga ini dikikis. Bahkan dihapuskan dari sistem adat.

"Para zending menganggap Ulu Balang berbahaya karena tidak tunduk pada struktur gereja. Mereka lebih loyal kepada komunitas. Bukan kepada kekuasaan kolonial atau misi zending," ujar Shohibul.

Proses tersebut, menurutnya, adalah bentuk kekerasan epistemik yang menghancurkan identitas lokal.

Kontras dengan Pecalang di Bali

Sebaliknya, di Bali, Pecalang tetap hidup dan bahkan mendapatkan legitimasi negara. Dalam Peraturan Daerah (Perda) dan hukum adat Bali, lembaga ini tetap eksis sebagai bagian dari sistem keamanan desa adat.

Perannya diperkuat oleh lembaga resmi seperti Prajuru Desa, dan kerap dilibatkan dalam pengamanan event nasional maupun kegiatan keagamaan.

"Kita patut bertanya: mengapa satu institusi adat bisa diberdayakan? Sementara yang lain justru dihilangkan? Apa dasar seleksinya? Apakah hanya karena Bali menjadi ikon pariwisata nasional dan internasional?" ujar Shohibul menohok.

Perspektif Purwanto: Negara Tak Menciptakan Budaya

Dalam kaitannya terhadap pernyataan Shohibul, analisis Prof Semiarto Aji Purwanto dari Universitas Indonesia (UI) yang menyatakan bahwa kebijakan budaya di Indonesia cenderung menyensor dan menundukkan ekspresi lokal, memiliki korelasi saling menguatkan.

Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi UI berjudul "Kebijakan Budaya: Kelahiran Kembali Negara Sensor?" (2021), misalnya, Purwanto menulis:

"Kebijakan budaya selama ini tak jarang justru menjauhkan masyarakat dari ruang untuk menghidupi kebudayaan secara utuh. Negara hadir bukan sebagai fasilitator, tetapi pengatur ekspresi budaya."

Kritik ini memperkuat argumen Shohibul bahwa revitalisasi budaya lokal harus berasal dari komunitas, bukan intervensi top-down dari negara.

Dekolonisasi Budaya: Jalan Menuju Keadilan Kultural

Shohibul menyerukan pentingnya pendekatan dekolonisasi dalam kebijakan budaya.

Ia menyarankan agar pemerintah membuka ruang bagi komunitas-komunitas adat untuk memulihkan struktur sosial yang tergerus kolonialisme.

"Dekolonisasi itu bukan romantisme masa lalu. Ini soal hak kolektif atas identitas dan kesejahteraan," tegasnya.

Investigasi ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana negara memperlakukan warisan budaya lokal: mana yang dilestarikan, mana yang dilupakan—dan mengapa.

Tanpa keberanian untuk membongkar bias kebijakan, upaya pelestarian budaya hanya akan menjadi proyek simbolik yang tidak menyentuh keadilan struktural.*

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Shohibul Anshor Siregar: Medan 435 Tahun, Demokrasi Tanpa Gigi dan Pengkhianatan Konstitusi
Pengamat: OTT di Sumut Pertanda Erosi Pengaruh Kekuasaan Jokowi
Shohibul Anshor Siregar: Penunjukan Prabowo di PSSI Pertanda Suram Masa Depan Sepak Bola Indonesia
Shohibul: Dekolonisasi Pemikiran dan Rekonstruksi Asketisme Intelektual, Tantangan Besar Dunia Kampus dan Bangsa
Klaim Empat Pulau Aceh Masuk Sumut, Shohibul Anshor Siregar: Abainya Kemendagri Ancam Kedaulatan Wilayah
Dosen UMSU: Legislator Sumut Hadapi "Medan Tempur" Oligarki dan Jebakan Ekonomi Kolonial
komentar
beritaTerbaru