
Putra Simalungun Kembali, GEMMA PETA INDONESIA Sambut Harli Siregar sebagai Kajati Sumut
JAKARTA Gerakan Masyarakat dan Mahasiswa Pembela Tanah Air Indonesia (GEMMA PETA INDONESIA) menyampaikan ucapan selamat atas pelantikan Dr
NasionalMEDAN - Sebuah ironi mencolok mengemuka dalam kebijakan pelestarian budaya di Indonesia. Ketika Pecalang—lembaga adat keamanan tradisional Bali—diperkuat melalui pengakuan hukum dan dukungan negara, lembaga serupa di Tanah Batak, Ulu Balang, justru menghilang dari struktur sosial masyarakat.
Di balik ketimpangan ini, tersimpan jejak panjang intervensi kolonial dan bias kebijakan yang belum benar-benar pulih sejak Indonesia merdeka.
Menurut Shohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya), perbedaan nasib ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan pembangunan budaya yang partisipatif dan berkeadilan.
Baca Juga:
"Pecalang di Bali dikuatkan oleh negara melalui Perda dan Awig-awig. Tapi Ulu Balang di Tanah Batak, justru dilenyapkan karena dianggap bertentangan dengan agenda zending kolonial yang bekerja sama dengan kekuasaan Hindia Belanda," ungkap Shohibul dalam wawancara investigatif yang dilakukan tim BITVOnline di Medan, Senin (12/05/2025).
Menurut Shohibul, pendekatan negara terhadap kebudayaan masih sarat dengan logika kolonial: memilah, menundukkan dan menghapus institusi lokal yang dianggap tidak sesuai dengan narasi nasional atau dominasi agama tertentu.
Baca Juga:
Warisan Zending dan Hilangnya Peran Ulu Balang
Dalam penelusuran sejarah yang dilakukan nBASIS, Ulu Balang dulunya memegang peranan penting dalam pengamanan wilayah adat dan menjaga keseimbangan relasi sosial antara raja, huta (kampung), dan hukum adat.
Namun sejak masa kolonial dan ekspansi zending Kristen di Tanah Batak, lembaga ini dikikis. Bahkan dihapuskan dari sistem adat.
"Para zending menganggap Ulu Balang berbahaya karena tidak tunduk pada struktur gereja. Mereka lebih loyal kepada komunitas. Bukan kepada kekuasaan kolonial atau misi zending," ujar Shohibul.
Proses tersebut, menurutnya, adalah bentuk kekerasan epistemik yang menghancurkan identitas lokal.
Kontras dengan Pecalang di Bali
Sebaliknya, di Bali, Pecalang tetap hidup dan bahkan mendapatkan legitimasi negara. Dalam Peraturan Daerah (Perda) dan hukum adat Bali, lembaga ini tetap eksis sebagai bagian dari sistem keamanan desa adat.
Perannya diperkuat oleh lembaga resmi seperti Prajuru Desa, dan kerap dilibatkan dalam pengamanan event nasional maupun kegiatan keagamaan.
"Kita patut bertanya: mengapa satu institusi adat bisa diberdayakan? Sementara yang lain justru dihilangkan? Apa dasar seleksinya? Apakah hanya karena Bali menjadi ikon pariwisata nasional dan internasional?" ujar Shohibul menohok.
Perspektif Purwanto: Negara Tak Menciptakan Budaya
Dalam kaitannya terhadap pernyataan Shohibul, analisis Prof Semiarto Aji Purwanto dari Universitas Indonesia (UI) yang menyatakan bahwa kebijakan budaya di Indonesia cenderung menyensor dan menundukkan ekspresi lokal, memiliki korelasi saling menguatkan.
Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi UI berjudul "Kebijakan Budaya: Kelahiran Kembali Negara Sensor?" (2021), misalnya, Purwanto menulis:
"Kebijakan budaya selama ini tak jarang justru menjauhkan masyarakat dari ruang untuk menghidupi kebudayaan secara utuh. Negara hadir bukan sebagai fasilitator, tetapi pengatur ekspresi budaya."
Kritik ini memperkuat argumen Shohibul bahwa revitalisasi budaya lokal harus berasal dari komunitas, bukan intervensi top-down dari negara.
Dekolonisasi Budaya: Jalan Menuju Keadilan Kultural
Shohibul menyerukan pentingnya pendekatan dekolonisasi dalam kebijakan budaya.
Ia menyarankan agar pemerintah membuka ruang bagi komunitas-komunitas adat untuk memulihkan struktur sosial yang tergerus kolonialisme.
"Dekolonisasi itu bukan romantisme masa lalu. Ini soal hak kolektif atas identitas dan kesejahteraan," tegasnya.
Investigasi ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana negara memperlakukan warisan budaya lokal: mana yang dilestarikan, mana yang dilupakan—dan mengapa.
Tanpa keberanian untuk membongkar bias kebijakan, upaya pelestarian budaya hanya akan menjadi proyek simbolik yang tidak menyentuh keadilan struktural.*
JAKARTA Gerakan Masyarakat dan Mahasiswa Pembela Tanah Air Indonesia (GEMMA PETA INDONESIA) menyampaikan ucapan selamat atas pelantikan Dr
NasionalJAKARTA Suasana penuh kehangatan dan canda tawa menyelimuti konferensi pers jelang pembukaan Piala Presiden 2025 yang digelar di Jakarta,
OlahragaLABURA Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) di Jalan Persaudaraan II No. 09, Aek Kanopan, Kecamatan
PeristiwaBATU BARA Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang baru bergabung di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Labuhan Ruku mengikuti kegiatan
PemerintahanBATU BARA Kalapas Labuhan Ruku, Soetopo Berutu, memberikan pengarahan langsung kepada seluruh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) terkait pen
NasionalTAPSEL Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) mencetak sejarah dengan menjadi daerah tercepat dalam membentuk Koperasi Merah Putih (KMP) di se
PemerintahanJAKARTA Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengaku kecewa atas tuntutan 7 tahun penjara yang diajukan ja
NasionalJAKARTA Arus lalu lintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, pada Jumat malam terpantau ramai lancar. Meski volume kendaraan padat sei
NasionalJAKARTA Kabar duka datang dari dunia penegakan hukum Indonesia. Mantan Jaksa Agung Republik Indonesia, Abdul Rahman Saleh, meninggal dunia
SosokMEDAN Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Wakajati hingga sejumlah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) di Sumatera Utara (Sumut) diganti. Berik
Pemerintahan