BREAKING NEWS
Jumat, 04 Juli 2025

Hadiah dari Penghutang ke Pemberi Hutang, Riba Terselubung? Begini Penjelasan Ulama

Adelia Syafitri - Jumat, 04 Juli 2025 07:48 WIB
69 view
Hadiah dari Penghutang ke Pemberi Hutang, Riba Terselubung? Begini Penjelasan Ulama
Ilustrasi. (foto: fun-japan)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA — Praktik pemberian hadiah dari penghutang kepada pihak yang memberikan pinjaman kembali menjadi sorotan, terutama dari sudut pandang hukum Islam.

Meski tampak seperti bentuk penghormatan atau rasa terima kasih, para ulama mengingatkan bahwa tindakan ini memiliki potensi besar mengandung unsur riba dan risywah (sogokan), jika dilakukan dalam konteks yang salah.

Dalam literatur fikih, dikenal kaidah:

"Setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberi utang), maka itu adalah riba."

Meskipun hadis yang menjadi asal kaidah ini dinilai lemah dari sisi sanad, para ulama sepakat bahwa makna kaidah ini sahih dan berlaku dalam praktik muamalah.

Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, yang menyatakan bahwa setiap manfaat dari utang yang bersifat tambahan bagi pihak pemberi pinjaman tergolong riba yang dilarang secara ijma' (kesepakatan ulama).

Tak hanya menyangkut riba, hadiah dalam konteks utang-piutang juga bisa termasuk dalam kategori risywah.

Sejumlah penghutang memberikan hadiah kepada kreditur dengan harapan mendapat keringanan, penundaan, atau perlakuan istimewa lainnya terkait utangnya.

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menjelaskan, jika hadiah atau bantuan diberikan agar utang diperlunak atau diperpanjang, atau untuk menarik simpati pemberi utang, maka hal tersebut diharamkan, karena termasuk riba atau sogokan terselubung.

Dari berbagai pendapat mazhab, mayoritas ulama menyatakan bahwa:

Hadiah dari penghutang sebelum pelunasan utang tidak boleh diterima, kecuali sudah ada kebiasaan memberi hadiah sebelumnya, atau hadiah itu dihitung sebagai pelunasan utang.

Hadiah setelah pelunasan utang umumnya dibolehkan, bahkan dianjurkan sebagai bentuk balas jasa dan wujud akhlak yang baik.

Umar bin Khattab sendiri pernah menolak hadiah dari Ubay bin Ka'ab karena khawatir hadiah itu bermotif balas jasa dari utang.

Namun, setelah mengetahui bahwa hadiah itu bukan karena utang, Umar akhirnya menerimanya.

Ini menjadi landasan penting dalam menentukan hukum hadiah dalam konteks utang-piutang.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

"Bertukar hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)

Namun dalam konteks utang-piutang, niat dan waktu pemberian hadiah menjadi krusial.

Jika dilakukan dengan maksud mempengaruhi atau mengharapkan imbal balik utang, maka hadiah tersebut bisa menjadi haram.

Ibnul Qayyim menyimpulkan, "Jika pemberi utang yakin hadiah bukan karena pinjaman, maka boleh menerimanya. Namun jika ada indikasi kuat bahwa hadiah diberikan karena utang, maka harus ditolak."

Dalam praktik sehari-hari, kehati-hatian sangat dibutuhkan.

Para ulama merekomendasikan agar hadiah diberikan setelah pelunasan utang, atau jika memang sudah menjadi kebiasaan sebelumnya.

Jika tidak jelas tujuannya, menolak hadiah adalah sikap paling wara' dan aman.

(msl/a008)

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru