Perbandingan dengan studi kasus di Amazon Brazil menunjukkan paralelisme, di mana 34% deforestasi Amazon antara tahun 2000 dan 2020 terkait izin konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah adat (INPE, 2021).
Shohibul lebih jauh menguraikan, konflik agraria di sektor kehutanan juga sangat erat kaitannya dengan pengabaian hak-hak masyarakat adat. Ia mengutip penelitian Colchester (2008) yang menunjukkan, 90% konflik hutan di Asia Tenggara melibatkan masyarakat adat.
Di Indonesia, dari total 42 juta hektar klaim hutan adat, baru 21,3 juta hektar yang diakui secara hukum (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2023). "Ini jelas menunjukkan kegagalan negara dalam mengintegrasikan prinsip keadilan lingkungan ke dalam kebijakan kehutanan," tegasnya.
Menyikapi kondisi ini, Shohibul Anshor Siregar mendesak adanya reformasi mendasar dalam tata kelola hutan di Indonesia. Beberapa rekomendasi kebijakan yang ia ajukan meliputi pemisahan hutan register dari kepentingan komersial melalui amandemen UU Kehutanan.
Kemudian, adopsi model Community Forest Rights seperti di Meksiko, transparansi data spasial konsesi kepada publik, penerapan sanksi berat bagi pelanggar hukum kehutanan, percepatan sertifikasi hutan adat, dan integrasi teknologi untuk pemantauan deforestasi secara real-time.
Sistem hutan register dan konsesi di Indonesia, menurutnya, bukan sekadar warisan masa lalu. Tetapi telah bertransformasi menjadi bentuk rekolonisasi melalui dominasi korporasi global dan marginalisasi masyarakat adat.
"Sudah saatnya kita melakukan dekolonisasi tata kelola hutan, mengutamakan keadilan lingkungan, dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat dalam setiap kebijakan kehutanan," pungkasnya.*