BREAKING NEWS
Minggu, 06 Juli 2025

Revisi UU ASN: Ketika Kekuasaan Merenggut Meritokrasi

Redaksi - Selasa, 06 Mei 2025 08:35 WIB
244 view
Revisi UU ASN: Ketika Kekuasaan Merenggut Meritokrasi
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Akibatnya, kepala daerah dapat kesulitan mewujudkan program-program yang telah dijanjikan kepada pemilih mereka saat kampanye karena tidak memiliki kontrol penuh atas aparat birokrasi di wilayah mereka. Itu bukan hanya soal distribusi kekuasaan, melainkan juga soal efektivitas pemerintahan daerah dan realisasi janji-janji demokrasi di tingkat akar rumput.

Kedua, terhadap meritokrasi. Meskipun bisa jadi tujuannya mulia, yakni untuk menjamin bahwa hanya ASN yang benar-benar kompeten dan berprestasi yang menduduki posisi puncak, sentralisasi kewenangan mutasi itu justru menyimpan paradoks yang berbahaya. Ia berpotensi membuka celah yang lebih lebar bagi praktik patronase dan klientelisme di tingkat pusat. Kekuasaan yang terpusat di tangan presiden untuk menentukan siapa menduduki jabatan eselon I dan II di seluruh Indonesia, tanpa mekanisme pengawasan yang benar-benar kuat dan independen, sangat rentan terhadap intervensi politik.

Baca Juga:

Dalam konteks itu, ASN yang berprestasi di daerah, yang telah menunjukkan dedikasi dan kemampuan luar biasa dalam melayani masyarakat di wilayah mereka, bisa saja tersisih bukan karena kekurangan kompetensi, melainkan karena tidak memiliki kedekatan atau koneksi dengan lingkaran kekuasaan di Jakarta.

Sebagaimana diungkapkan Agus Pramusinto, Guru Besar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), akar masalah sering kali terletak pada perilaku pejabat pembina kepegawaian, bukan pada status kepegawaian ASN itu sendiri. Memindahkan kewenangan ke pusat, tanpa mengatasi potensi subjektivisme dan kepentingan politik dalam penunjukan, tidak serta-merta menghilangkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Justru, ia hanya memindahkannya dari tingkat lokal ke tingkat nasional, dengan potensi dampak yang lebih luas dan sistemis.

Kita diingatkan kembali oleh Dhakidae dalam buku yang sama, tentang bagaimana kekuasaan dapat membentuk dan memengaruhi lanskap intelektual dan birokrasi. Dalam konteks revisi UU ASN itu, kita perlu mewaspadai, apakah usul itu benar-benar bertujuan memajukan meritokrasi ataukah justru menjadi alat untuk memperkuat kontrol politik atas birokrasi, dengan loyalitas kepada penguasa menjadi pertimbangan utama di atas kompetensi dan prestasi. Sentralisasi kekuasaan, tanpa checks and balances yang memadai, selalu membawa risiko tergerusnya prinsip-prinsip meritokrasi yang sehat dan objektif.

Ketiga, terhadap pemberantasan korupsi. Sentralisasi kewenangan yang tidak diimbangi dengan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat justru berpotensi secara signifikan meningkatkan risiko korupsi. Ketika kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pejabat tinggi, eselon I dan II, di seluruh Indonesia terpusat di satu tangan, yaitu presiden, tanpa adanya pengawasan independen yang efektif, terciptalah konsentrasi kekuasaan yang sangat besar. Kondisi itu bisa menjadi lahan subur bagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat pusat.

Sejarah birokrasi Indonesia mencatat model lama yang sarat dengan praktik KKN, dengan penunjukan jabatan sering kali didasarkan pada kedekatan personal atau proteksionisme politik, bukan pada kompetensi dan integritas. Kita tentu tidak ingin birokrasi kita kembali ke era tersebut, dengan pelayanan publik menjadi korban kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Usep Hasan Sadikin, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bahkan secara eksplisit khawatir bahwa jika sentralisasi itu diterapkan, Indonesia akan memiliki masalah korupsi yang lebih berat karena kewenangan yang terlampau besar akan membuat implementasi kebijakan menjadi lebih sulit diawasi. Tanpa adanya pengawasan dan penyeimbang yang memadai, keputusan-keputusan terkait dengan promosi dan mutasi jabatan bisa saja didikte pertimbangan-pertimbangan nonmeritokratis, termasuk subordinasi pada kepentingan tertentu yang berpotensi koruptif.

Oleh karena itu, menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa jika revisi itu sungguh bertujuan meningkatkan efisiensi dan meritokrasi, harus ada jaminan yang kuat terkait dengan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas bagi para pemegang kewenangan.

Penguatan kembali peran lembaga pengawas independen seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang sayangnya dihapuskan UU ASN 2023, menjadi semakin mendesak untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi di birokrasi. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, mutasi sentralisasi kewenangan justru bisa menjadi bumerang bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

PENTINGNYA KESADARAN PUBLIK DAN ASN

Lalu, apa yang perlu disampaikan kepada publik, terutama kepada para aparatur sipil negara? Revisi UU ASN itu bukan sekadar perubahan teknis dalam manajemen kepegawaian. Itu ialah isu mendasar yang menyangkut arah tata kelola negara kita. Para ASN, sebagai garda terdepan pelayanan publik, harus menyadari potensi dampak perubahan itu terhadap karier dan profesionalisme mereka.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
IGN Agung Y. Endrawan: Mediasi Pertanahan Harus Netral, Bukan Alat untuk Menunda Keadilan
Komisi II DPR RI Tegaskan Revisi UU ASN Tidak Akan Dikebut: Fokus pada Substansi dan Aspirasi Publik
komentar
beritaTerbaru