JAKARTA— Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan signifikan.
Jika sebelumnya pemerintah kabupaten/kota memiliki peran besar dalam mengawasi dan menegakkan hukum ketenagakerjaan, kini kewenangan tersebut sebagian besar beralih ke pemerintah provinsi dan pusat.
Peralihan kewenangan ini menimbulkan dilema di lapangan. Banyak kasus pelanggaran hak pekerja di tingkat kabupaten/kota yang sulit ditangani secara cepat karena pemerintah daerah setempat tidak lagi memiliki kewenangan langsung untuk menindak.
"Dulu kabupaten/kota bisa langsung memeriksa dan memberikan nota pelanggaran kepada perusahaan. Sekarang, mereka hanya dapat meneruskan laporan ke provinsi," ujar salah satu pejabat Dinas Ketenagakerjaan di Jawa Tengah.
Perubahan peta kewenangan ini bersumber dari Pasal 12 ayat (2) huruf a UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menetapkan bahwa urusan ketenagakerjaan merupakan urusan pemerintahan konkuren — dibagi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Namun dalam lampiran pembagian urusan, fungsi pengawasan ketenagakerjaan secara tegas menjadi kewenangan provinsi.
Ketentuan ini diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Penataan Tenaga Kerja serta Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan. Akibatnya, pejabat pengawas kini ditempatkan di provinsi, bukan lagi di kabupaten/kota.
Situasi ini memunculkan persoalan teknis yang berdampak langsung pada perlindungan pekerja.
Aduan pekerja mengenai pelanggaran seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), upah di bawah standar, dan jaminan sosial sering kali disampaikan ke dinas kabupaten/kota. Namun karena keterbatasan kewenangan, laporan tersebut harus menunggu tindak lanjut dari provinsi.
"Jumlah pengawas dan mediator di provinsi sangat terbatas. Akibatnya, respon terhadap laporan bisa memakan waktu berminggu-minggu," kata sumber internal Disnaker provinsi lain.
Masalah lain yang memperparah kondisi ini adalah minimnya mediator hubungan industrial di tingkat kabupaten/kota. Setelah peralihan kewenangan tahun 2017, banyak pejabat mediator berpindah ke provinsi.
Ketika dilakukan penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional berdasarkan Perpres Nomor 11 Tahun 2020 dan SE Menpan RB Nomor B/539/M.SM.02.03/2021, tidak semua pejabat daerah mendapatkan legalitas jabatan barunya.